Sunday, March 2, 2014


BERUBAH 1800

Tak ada harapan lagi, soal-soal Matematika, Fisika, bahkan Bahasa Inggris pun banyak yang belum terjawab.
Bodoh! Waktu tinggal 10 menit lagi,” pekikku dalam hati. Tanganku mulai berkeringat dingin, apa yang harus kulakukan?
5 menit lagi!” kata pengawas. Mati aku, waktu akan terus berjalan. Akhirnya kujawab soal-soal itu asal-asalan.Waktu habis, kumpulkan sekarang! kata pengawas dengan sangat mengejutkan. Kukumpulkan saja kertas tesku dengan tangan yang gemetar. Pasrah, satu kata yang bisa kuterima saat ini.
Kutinggalkan ruang tes dengan langkah gontai, sementara tanganku masih gemetaran.
Dorr!!” sapa Lisa mengagetkanku.
“Astagfirullahhal adzim, Lisa!” ucapku kaget. “Apa-apaan sih lu?” ucapku lagi yang sedikit membentak.
“Eh, gimana tesnya?” tanya Lisa.Nol besar, gak ada harapan! Happy banget sih lu, emang soalnya gampang ya?” kataku lemas.
“Nggak juga sih... jawab Lisa.
Kurebahkan tubuhku di ranjang sepulang dari sekolah yang setara dengan SMA itu. Sudah terlihat bagaimana jadinya nanti. Mungkin tidak diterima, itu pasti. Kalau aku tidak diterima, apa yang akan kukatakan pada mereka nanti? Arnia Wijayanti, TIDAK DITERIMA.
Arrgh!” pekikku dengan menggeleng-geleng, mencoba menghapus pikiran burukku itu. Tidak seharusnya seperti itu, berpikir positif aja lah!
Aku kehilangan semangat. Aku tahu aku memang tak pintar, juga bodoh. Sudah hampir 2 bulan ini, aku sama sekali tidak memegang buku. Aku bukanlah orang yang rajin. Tapi, kalau berusaha mungkin aku bisa. Namun kali ini beda, ini sekolah favorit. Banyak yang menginginkannya.
Seminggu berlalu, saatnya pengumuman. Pikiran buruk tak terjadi dan berubah menjadi sesuatu yang baik. Di sana tertulis, Arnia Wijayanti, DITERIMA. Ini mimpi? Ah, ini bukan mimpi, ini kenyataan. Bahkan Si Kutu (Lisa) juga diterima. Ingin kutemui Lisa, tapi dimana dia berada.
“A…itu dia!” kataku. Kulihat dia terbengong-bengong di sebuah bangku depan sebuah kelas. “Eh kutu, kita diterima!” kataku. Lisa hanya mengangguk kemudian kegirangan setengah mati.Terima kasih ya Allah!” kata kami bersamaan.
Yah, begitulah ceritanya. Aku mulai menjalani MOS-ku dengan gembira, juga kegiatan-kegiatan lainnya dengan sangat senang. Hingga tibalah minggu pertama sekolah di sekolah favorit tersebut. Pertama, kesan pertama memang menyenangkan.
Berangkat sekolah pagi sekali, masuk, pelajaran, istirahat, pelajaran, istirahat, pelajaran, terus pulang. Pulang kerjain PR, malam, belajar. Itulah yang terjadi setiap harinya. Saat pulang sekolah Lisa menemuiku, “Nia, tugas tiada habisnya,” ujar Lisa.
Sabar ya, Kutu harus kuat. Aku juga sama sepertimu, Lis. Jawabku.
“Kau enak ada di kelas F, aku? Aku di B. Tugasku lebih berat dan banyak darimu.
“Kau benar juga, jawabku. Kemudian, kami tenggelam dalam keterpurukan sendiri-sendiri.
Lama-kelamaan, penyakit malasku mulai kambuh lagi. Mulai tak begitu mendengarkan penjelasan guru, kesulitan mengerjakan PR, berangkat sering terlambat, dan malas belajar di rumah. Entah apa yang kupikirkan, setelah kegirangan bisa masuk sini tapi setelah melihat kenyataan yang sebenarnya, semuanya berubah. Aku sungguh tidak memahami ini, aku terpuruk.
Malam itu, aku mengerjakan PR matematika. Tiba-tiba tak sengaja kujatuhkan bolpoinku di atas tumpukan buku-buku yang ada di atas meja belajar.
“Kenapa begitu sulit? Apa aku sebodoh ini hingga aku tidak bisa sama sekali mengerjakannya?” marahku pada diri sendiri. Penderitaan ini belum selesai, karena besoknya juga ada ulangan matematika. Paham saja belum, apalagi ulangan? Aku akan mati di tangan guru matematika besok.
Tet…., bunyi bel masuk setelah istirahat. Tegang, takut, cemas bercampur memasuki diriku. Bu Arin memasuki kelas, lalu mulai membacakan soal ulangan hari itu. Mulai lagi tanganku berkeringat dingin, kukerjakan soal matematika itu sebisaku. Ini bukan soal pilihan ganda, aku tidak bisa menjawab asal-asalan. Kukumpulkan saja soal dengan tangan gemetar, sama seperti saat itu. Semoga Allah memberi kemudahan padaku kali ini, sama seperti saat itu.
Lusanya, pembagian hasil ulangan. Jantungku berdebar-debar.Arnia Wijayanti.. panggil Bu Arin. Aku maju ke depan, kemudian kuambil kertas ulanganku.Nilaimu 65. Apa kau tidak belajar?” tanya Bu Arin.
Maaf, Bu.... jawabku lalu duduk dan tertunduk lesu.
“Kau tak apa?” Gita, teman sebangkuku.
“Aku tak apa. It’s okay!” jawabku.
Kutemui Lisa Si Kutu di kantin siang itu.
“Kutu, aku dapat nilai jelek. Kataku.
“Dasar bodoh, ini bukan dirimu, dimana semangatmu?”
Aku sudah kehilangan semangatku. It’s hurt!” kataku.
“Kau kurang belajar. Apa penyakitmu itu udah comeback?” tanya Lisa. Aku hanya mengangguk.Aneh lu, penyakit masak comeback.” Lanjutku.
Aku hanya ingin menghiburmu saja.” Jawab Lisa.
“Tenang saja Lis, kataku sambil menggebrak meja yang sontak mengagetkan Lisa.
“Eh kau ini, mengagetkan saja.” Jawabnya dengan kaget.
Aku akan merubah semuanya dan memulai semuanya dari awal. Aku tak ingin dapat nilai jelek lagi. Kataku.
“Baguslah kalau begitu.” Pungkas Lisa.
“Hanya itu?” tanyaku.
“Iya, apalagi yang kau harapkan?” Lisa balik bertanya. Aku hanya mendengus kesal padanya.Dasar Kutu!” lanjutku.
Benar saja, mulai saat itu, hari-hariku sibuk dengan belajar dan mengerjakan tugas. Semua yang sudah terjadi mulai dari ulangan, PR, tugas, kegiatan, dan semua yang ada di sekolah favorit ini sukses membuatku berubah 1800 dari sebelumnya. Dan akankah aku dapat nilai-nilai yang baik selanjutnya? Kita lihat saja nanti.

Karya : Iva Jaziilatur Rohmah

Editor : Indah Nur H.

0 komentar:

Post a Comment