Saturday, February 9, 2013


‘Saat ini aku berada dalam kehidupan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, aku berada di sekitar orang-orang yang menyayangiku. Dukungan atas semua mimpi-mimpiku terus mereka berikan padaku. Semestinya aku bersyukur memiliki mereka dalam hidupku, tapi aku justru takut akan mengecewakan semua dukungan, waktu dan tenaga mereka,’ tergores sudah pena bertinta hijau pada buku diary milik Dinda. Dinda menunduk setelah menutup buku diarynya. Terlalu sulit untuknya menyesuaikan diri dengan keadaannya saat ini yang sudah tiga bulan resmi naik ke kelas sebelas IPS dan menemui berbagai masalah menyangkut mimpi dan masa depannya. Ia bergegas mengambil air wudlu lalu memanfaatkan sepertiga sisa malam itu untuk mengadu pada Sang Pencipta.
            Malam itu tidak begitu ramai seperti sekian malam yang pernah berlalu sebelumnya. Biasanya, di asrama telah terdengar gemericik air ramai begitu sepertiga malam datang. Tapi, seakan jarum jam hanya berdetak untuk menemani Dinda, malam itu Dinda menikmati kesunyian suasana asrama bersama tetesan kekecewaannya. Dinda tidak menyadari, sepasang mata mengintainya yang menunduk dengan balutan mukena di tubuhnya.
            “Kamu nggak salah memiliki mimpi yang tinggi dan menuliskannya sebagai motivasimu. Kamu bisa meraih semua mimpimu asalkan kamu tidak putus asa dalam proses mendapatkannya.”
            Dinda menoleh dan segera larut dalam pelukan Mbak Nadia. Ternyata sepasang mata yang mengintai Dinda adalah mata bulat milik Mbak Nadia. Mbak Nadia adalah salah satu kakak kelas satu asrama yang dekat dengan Dinda. Dalam pelukan Mbak Nadia, Dinda mencoba menenangkan diri dengan membiarkan air matanya mengalir lebih deras. Dinda merasa telah melempar bintang terlalu jauh dan tinggi sampai tak bisa tuk menggapainya kembali. Ia memiliki mimpi yang begitu tinggi baginya, tapi ia kesulitan meraihnya. Tak kuasa lagi Dinda melihat lembaran-lembaran bertuliskan angka bertinta merah menyala. Dinda telah putus asa dengan semua hasil yang ia dapatkan dari semua usaha untuk mendapatkannya.
            “Tapi aku takut mengecewakan semua orang yang telah memberi dukungan padaku Mbak, sekarang ini aja aku nggak bisa berpijak pada anak tangga paling bawah... Seharusnya aku bisa melewati langkah pertama untuk mewujudkan mimpi-mimpiku..” keluh Dinda.
            “Bukannya nggak bisa, tapi belum bisa. Kamu masih punya waktu, jangan gunakan waktu berharga yang tak bisa diulang ini untuk menyesali langkahmu yang kurang hati-hati. Allah tidak akan menyukai hambanya yang mudah putus asa,” jelas Mbak Nadia.
            Dinda memejamkan matanya dan meresapi aliran positif dari kalimat Mbak Nadia. Melayang sudah angan Dinda bersama segudang harapan yang selama ini ia dapatkan dari banyak orang yang menyayanginya. Tiba-tiba Dinda mempererat pelukannya.
            Mbak Nadia sedikit kaget, “Aku tau kamu pasti sudah mulai bangkit.”
            Tenang sudah Dinda dan perasaannya yang sempat mendung. Untuk kesekian kalinya Dinda membaca paragraf di dekstop laptopnya yang sering ia sebut ‘Adinda masa depan’ pagi itu sebelum beraktifitas. Tapi kali ini, Dinda membacanya dengan penuh harapan dan sungguh-sungguh. Ia tidak ingin pohon yang telah tumbuh tinggi harus roboh tertiup angin lagi seperti yang terjadi semalam.

Adinda masa depaaaaann....
Walaupun kamu sekarang tidak dikenal sebagai anak yang pintar di kelas, tapi aku yakin suatu saat nanti kamu bisa dapet ranking 3 besar pararel IPS, sukses smnptn undangan atau lolos bidik misi dan akhirnya dapet beasiswa kuliah di institut kesenian indonesia jurusan seni rupa dan UGM  jurusan sastra dan kelak menjadi salah satu anggota keluarga besar trans corp company sebagai tim kreatif dan memiliki wedding organizer.
Satu lagi, kamu juga akan menerbitkan buku tentang ax-tentigk yang akan menjadi inspirasi banyak orang..
Keep smile J J J ..keep your spirit..
Don’t be lazy...remember, nothing’s impossible..
Amiiin...pasti bisa..

            Itulah catatan sederhana yang menjadi penyemangat setia setiap langkah Dinda. Catatan yang ia tulis dalam sticky notes di dekstopnya itu telah terbaca puluhan pasang mata dan mengalami perubahan dari teks aslinya.
            “Kalau berdoa yang bagus sekalian...” Sania menghapus angka 20 yang sekarang tertulis angka 3 dalam catatan ‘Adinda masa depan’. Impian Dinda hanya meraih 20 besar pararel, tapi Sania meyakinkan sahabatnya itu untuk memiliki target lebih baik dari sekedar ranking 20 besar pararel, yaitu 3 besar pararel.
            “Kalau kamu benar-benar bisa masuk di UGM, aku akan belikan lap top baru untukmu,” kakak Dinda di rumah pernah membuat penyataan seperti itu setelah tau adiknya punya mimpi tinggi melanjutkan belajar di UGM.
            Baris terakhir berisi kalimat ‘amiiin...pasti bisa..’ juga merupakan salah satu bumbu pendongkrak semangat Dinda yang ditulis Dias setelah membaca catatan mimpi masa depan Dinda.
            “Kamu bisa kan menyelesaikannya malam ini? Adinda pasti bisa, iya kan? Semangat...!!! Ingat, kamu punya mimpi di adinda masa depanmu..” Ilma meyakinkan Dinda yang dituntut menyelesaikan sentuhan terakhir untuk proposal kegiatan jurnalis dalam satu malam.
            Proposalnya sukses, ringan terasa pikiran Dinda hari itu sebelum akhirnya terserang petir dan terguyur hujan deras. Belum lagi rasa sakitnya terpeleset dalam kubangan air keruh. Dinda mendadak down lagi mendapati nilai geografinya adalah nilai terjelek di kelas padahal ia sudah belajar semalam suntuk.
            Selalu memuncak perasaan menjadi anak tidak berguna ketika sebuah keberhasilan yang tertunda mengunjungi Dinda. Ganjalan keras yang sulit ditakhlukkan sedang bersarang di hati Dinda. Kalimat-kalimat pembangun untuk tidak putus asa sudak tidak lagi mempan menembus perisai berkarat yang mengelilingi Dinda.
            “Pasti ada yang lebih jelek kok, Din. Hari ini kamu cuma kurang beruntung,” Nisa sebagai teman sebangku Dinda berusaha membuat perasaan sahabat karibnya itu lebih baik.
            Memang, hati kecil Dinda menahan kuat penyesalannya, tapi justru perasaan kecewa menghantui Dinda. Beberapa lembar kertas hasil tes yang telah dibagikan, tidak ada satu pun yang membuat Dinda tersenyum puas, terlebih untuk hari ini. Jari-jari Dinda hari itu pun seakan kaku tak dapat menari di atas keyboard dengan lancar, padahal ia ingin meneruskan novel impiannya tentang ax-tentigk (nama kelasnya ketika kelas sepuluh) sebagai pelarian kekecewaannya atas semua hasil tesnya.
            “Suuuliitttt..!!!!” Dinda menutup laptopnya pelan-pelan. Ia mencoba menenangkan perasaanya. Dalam genggamannya kini terdapat kuas kecil bernomor tiga, berharap dengan mengerjakan tugas melukisnya bisa membantu proses menenangkan perasaannya menjadi lebih cepat.
            “Dinda, apa yang kamu lakukan?” Nisa yang juga tinggal di asrama kaget ketika mengetahui Dinda yang mengerjakan tugas melukis bersama di hadapannya menuangkan semua car airnya di atas media melukisnya.
            “Aku tu cuma bisa pengen, pengen dan pengen...cuma bisa mimpi ketinggian tapi nggak bisa bikin mimpi itu jadi kenyataan.. Aku pengen dapet ranking pararel tapi nilai ulangan harianku aja nggak ada yang lebih tinggi dari 75. Aku pengen nerbitin novel, tapi untuk menyusun satu kalimat utuh saja tanganku terasa kaku, pikiranku blank. Lalu aku pengen kuliah di seni rupa, tapi melukis gradasi saja gagal terus...mana bisa mimpi dalam adinda masa depanku terwujuuudd...!!!!!” Dinda membanting kuasnya dan menendang meja lipatnya jauh-jauh.
            “Semuanya kan butuh proses, Din. Melukis seperti ini kan bisa dilatih, asal rajin mencoba, lama kelamaan akan bagus dan rapi kok,” rayu Nisa. Tapi Dinda tidak bisa dibendung lagi, ia meraih laptopnya. Membaca catatan ‘Adinda masa depan’ untuk terakhir kalinya lalu menghapusnya.
            “Tidak ada lagi adinda masa depan, adinda tidak bisa melihat masa depannya..” Dinda pergi meninggalkan Nisa di ruang kosong asrama tempat mereka mengerjakan tugas melukis mereka tadi.
            Meninggalkan semua mimpi dan membiarkan semua tugas sekolahnya berantakan dalam ruang kosong tidak membuat Dinda tenang. Ia memaksa dirinya sendiri tidur di balik selimut tebal dan melupakan semua masalahnya yang memenuhi pikirannya malam itu.
            Mata Dinda terbuka lagi malam itu, tidurnya tidak nyenyak. Waktu masih menunjukkan pukul 02:20 pagi. Masih sangat banyak mata terpejam, terlihat pulas mengistirahatkan pikiran. Dinda mendatangi ruangan kosong tempat ia meninggalkan semuanya sebelum ia tidur kemarin. Lantunan ayat suci Al Quran dari ruangan itu menyambut kedatangan Dinda. Tapi Dinda tidak menghiraukan suara itu bahkan untuk menoleh dan melihat pemilik suara di pojok ruangan itu saja tidak. Di sudut lain ruangan kosong itu, Dinda menekan tombol turn on pada laptopnya. Ia mendapati puluhan catatan berisi semua pernyataan orang-orang terdekatnya yang mendukung mimpi ‘Adinda masa depan’ di dekstopnya. Nisa menuliskan semua itu dalam dekstop laptop Dinda dengan harapan Dinda bisa bangkit lagi.
            “Apa kamu tidak ingin membaca ini untuk me-refresh pikiran dan hatimu?” Mbak Nadia berhenti membaca Al Quran dan menawarkanya pada Dinda.
            “Aku sudah membacanya berkali-kali bahkan berdoa di setiap bangun malamku, tapi efeknya tidak besar. Aku mengecewakan diriku sendiri dan semua orang di sekitarku. Aku bukan anak yang baik, orang tuaku di rumah pasti kecewa dan menyesal telah menyekolahkanku jauh disini sedangkan aku tidak melambung tinggi dengan kesuksesanku,” jawab Dinda penuh kesal.
            Plaaaaaaaaakkkkkk...!!!
            “Kamu tidak pantas berkata seperti itu!!!” Mbak Nadia melemparkan tangannya menyentuh pipi Dinda dengan kasar.
            “Apapun yang terjadi, kamu tidak boleh menyesalinya dan kamu harus tetap dekat dengan Allah. Ini bukan akhir dari semuanya...” lanjut Mbak Nadia.
            Dinda hanya diam dengan tangan yang terus melekat di pipinya sambil menangis tersedu-sedu. Mbak Nadia pun memeluk Dinda penuh perhatian.
            “Maafkan aku karena tanganku menyakitimu. Tapi, kamu memang tidak seharusnya seperti ini. Bacalah catatan-catatatn di dekstopmu, ingatlah bahwa mereka semua ada di belakangmu, mereka percaya kamu bisa mewujudkan apa yang kamu tulis dalam adinda masa depan... maafkanlah masa lalumu, tawakalkan masa depanmu.”
            Dinda memberontak keluar dari pelukan Mbak Nadia lalu pergi mengambil air wudlu dan menyendiri dalam balutan mukena di pojokan ruangan kosong itu. Mbak Nadia tidak memperhatikan lebih lama lagi, ia meninggalkan Dinda bersama kesunyian yang mungkin memang Dinda butuhkan.
            “Dindaaaa...aku juga mau jadi bagian dari keluarga besar trans corp company bersamamu..” Winda, salah satu sahabatnya dari kelas sepuluh yang sekarang pisah kelas berseru menghentikan langkah Dinda pagi itu yang hendak menuju kelas. Winda merangkul sahabat yang cukup lama tidak ia temui itu.
            Dinda diam sebentar sebelum mempererat rangkulannya.
            “Iya... nanti kita jadi tim kreatif di sana ya...!!!” ingatan Dinda melayang mengingat Winda adalah patner menghias kelas semasa kelas sepuluh dulu.
            Memulai lagi dengan pengaturan keadaan yang dibuat lebih teratur oleh Dinda. Mencoba menambal lubang-lubang dan menyempurnakan lingkaran niat agar tak termakan ulat, Dinda kembali bertekad untuk mewujudkan ‘Adinda masa depan’ yang tidak tertulis lagi dalam catatan di dekstop laptopnya.

Assalamu’alaikum embaaakk...
Maaf banget mbak, semalem aku sempet memberontak dan udah ninggalin Mbak Nadia gitu aja. Tapi makassiiiii banget mbak, udah mau kasih tangan Mbak Nadia di pipiku buat nyadarin aku dari kekhilafanku... aku janji nggak akan putus asa lagi dan akan menyerahkan semua hasil akhirnya pada Allah,, aku juga janji gitu loo mbak sama Allah.. doain aku yaa mbak,, J J J
-Adinda-
Wassalamu’alaikum..

            Mbak Nadia tersenyum membaca surat yang tersangkut di tas bagian depan miliknya.
            Kini Dinda mulai menabung angka delapan dalam kertas hasil ulangan hariannya, berharap angka itu menjadi awal dari lahirnya angka satu yang bersanding dengan nol. Semangat Dinda takkan luntur lagi karena sudah dicat sangat tebal. Catatan ‘Adinda masa depan’ memang tidak lagi tertulis dalam catatatn di dekstop laptop Dinda, tapi Allah telah membuatnya permanent dalam hati Dinda agar tak terhapus sebelum benar-benar terwujud.

Karya : Mujlawidzatul Husna  (Sub IQRO')

              

0 komentar:

Post a Comment