Thursday, January 31, 2013


Tanah itu kian retak. Langit yang mendung itu menangis, menatap penderitaan yang tiada habisnya tersungkur pada kota kecil yang terserang tsunami tadi pagi. Seluruh jalan penuh dengan air bah yang bercampur dengan kayu dan besi bekas reruntuhan bangunan yang tersapu ombak raksasa itu. Hampir semua bangunan hancur, tak terkecuali gedung-gedung pencakar langit yang berjajar angkuh di setiap ruas jalan. Hanya satu bangunan yang masih kokoh berdiri meski dinding-dindingnya retak karena terjangan benda-benda keras yang hanyut oleh ombak tersebut. Bangunan itu adalah masjid bercat hijau muda yang sejuk bagai indahnya warna surga. Suara adzan maghrib menggema begitu merdu dan indah di masjid agung tersebut. Disana sekelompok orang yang selamat dari terpaan tsunami sedang khusyuk shalat berjama’ah sambil mengungkapkan rasa syukur mereka dan berdo’a memohon keselamatan untuk keluarga mereka yang berada di lokasi lain. Semuanya tegang disapu udara yang dingin. Tanpa makanan dan pakaian yang menghangatkan, mereka tidur berjajar sambil terus berdo’a kepada Sang Khaliq untuk memohon keselamatan bagi mereka dan korban-korban lainnya yang belum ditemukan.
            Dentang waktu terus berjalan hingga detiknya terhenti tepat pukul dua belas malam. Suasana masjid yang hening sedikit terdengar bising karena riuhnya suara dzikir serangga malam. Hanya tersisa satu gadis yang duduk termenung di lantai tiga. Tangisnya tumpah tak bersuara, bibirnya mengaduh kesakitan namun tak lepas dari istighfar karena kaki kanannya terus mengucurkan darah. Ternyata betis kanannya sobek karena tergores besi puing masjid yang menghalanginya untuk menyelamatkan diri.
Karena kebimbangan yang membuat sesak hati dan pikirannya, dia ingin pergi menuju menara masjid untuk menghirup udara malam agar ia bisa menenangkan pikiran dan perasaannya. Dia berusaha untuk berdiri dengan meraih tembok-tembok sebagai sandaran keseimbangan tubuhnya. Darah masih terus mengalir dari betis kanannya hingga kaos kaki yang menutupi kakinya itu penuh dengan darah. Untunglah, dia memakai jubah warna merah hati yang gelap sehingga bisa menutupi bekas darah di kaki kanannya. Dia berjalan tertatih-tatih menuju ke puncak masjid. Kerudung besar yang menutupi pinggangnya itu mlambai-lambai tersapu angin malam yang dingin. Matanya lekat menatap indahnya bulan dengan lelehan air mata yang membasahi pipinya. Terdengar suara keluhan  yang samar dalam bathinnya.
Ayah, Ibu..
Kak Hasyim dan Kak Hisyam..
Ya Allah, merekalah kebahagiaan yang hingga kini kunantikan..
Harapan mengetahui keselamatan mereka masih sangat lekat..
Bersama awan putih, mata mereka memancarkan sinar kebahagiaan..
Aku tak ingin kehilangannya..
Ya Rabb, hanya satu permohonanku..
Bawalah mereka dalam naungan rahmatMu..
Dan semoga masih ada kesempatan untukku,
Menatap wajah bahagia mereka..
Dan kembali memijak kebahagiaan bersama mereka
Meskipun telah hancur jembatan untukku meraih itu..
Dia kembali berjalan tertatih-tatih. Matanya masih sembab karena tangisnya tak jua berhenti. Sekitar hampir pukul tiga malam, dia menuju ke tempat wudhu untuk mengambil air wudhu. Setelah itu, tubuhnya yang kurus, dengan tenang berdiri dan bersujud khusyuk kepada Rabb Sang Kuasa. Setelah selesai shalat, dia kembali menenangkan bathinnya dengan thilawah Al-Quran. Air matanya kembali tumpah membasahi pipinya. Kini, malam hanya menjadi saksi bisu atas penderitaan yang tersembunyi dalam bathinnya.
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
“Ini!! Disini ada korban selamat! Kami disini!!”. Teriakan para korban selamat di atap masjid terdengar sangat keras. Ternyata Tim SAR telah datang mengirimkan beberapa kotak yang berisi makanan, minuman, dan pakaian. Semuanya berebut, saling berdesakan antara satu dengan yang lain. Gadis itu hanya diam bersabar sambil mencoba untuk mengangkat kakinya yang mulai terasa sedikit mati rasa. Di dalam kerumunan itu, dia berusaha menjauh. Namun ada seorang ibu yang meraih lengannya.
“Nak, ada yang memanggilmu. Bersyukurlah, dia mengambilkan jatah makanan dan pakaian untukmu”. Sambil tersenyum, ibu paruh baya itu menunjuk seorang pemuda yang sedikit berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya sambil membawa sebuah kotak yang terlihat berat.
Gadis itu membalas senyum tulus dan wibawa dari seorang ibu paruh baya yang ramah tersebut. Saat pemuda itu mendekat, dia baru sadar bahwa dia adalah Hanif, teman kursus bahasa arabnya yang sudah hampir empat tahun tidak pernah bertemu.
“Assalamu’alaikum , Naya?” Hanif datang terengah-engah.
“Wa’alaikumussalam, Hanif? Subhanallah, masih inget ternyata.” Naya tertegun melihat wajah sahabatnya yang terlihat semakin dewasa.
Alhamdulillah hanya nggak ketemu hampir empat tahun aja pura-pura lupa, Na. Ini kotak yang bermanfaat untukmu. Hehe.” Hanif menyodorkan sebuah kotak kepada Naya sambil tertawa kecil.
Jazakallah khair, Hanif.” Sambil tertunduk malu, Naya menerima kotak itu.
“Baiklah, aku kembali. Afwan mengganggu.”
“Tidak, tidak mengganggu sama sekali. Jazakallah khair.”
Hanif yang jangkung itu berbalik arah untuk kembali berkumpul lagi dengan pengungsi laki-laki yang lain. Ya, gadis itu bernama Naya. Lengkapnya adalah Naya Satiara Al-Ashim. Dia seorang aktivis rohis di kampusnya dan dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Naya hanya berdiri termangu menatap langit yang mulai berhiaskan mega merah. Namun, siapakah yang bisa mengelak kekuasaan Tuhan?
Naya membuka kotak pemberian Hanif dan mengambil selimut tebal untuk menghangatkan suhu tubuhnya. Adzan dzuhur berkumandang indah di masjid tersebut, Naya bangkit untuk berwudlu. Dia merasa, kakinya mulai sulit untuk digerakkan. Tertanam benih ketakutan dalam hatinya bila dia akan merasakan bagimana rasanya berjalan dengan kursi roda. Tapi Naya tetap berjalan tanpa memperhatikan rasa sakit yang membuat kepalanya pusing.
‘Bruk!!’ Naya terjatuh. Kakinya sangat sulit untuk digerakkan. Lalu ada tangan yang tegap membantunya berdiri.
“Mbak, tayammum aja kalau ndak kuat untuk wudhu,” Naya yang sedikit pusing itu tersenyum menatap wajah seorang perempuan berjilbab putih yang terlihat keberatan saat menopang tubuhnya dari belakang.
Ndak kok. Saya baik-baik saja. Maaf dan terimakasih sudah membantu.” Lalu Naya berusaha berdiri meskipun dengan sejuta rasa sakit yang berpusat pada kaki kanannya. Naya mulai pincang.
“Iya. Saya bantu berjalan mbak, kelihatannya kaki anda luka parah.” Gadis berjilbab putih itu memegang pundak Naya dan menuntunnya menuju tempat wudhu.
Naya mengucapkan terimakasih berkali-kali kepada gadis berjilbab putih yang murah hati itu. Mereka saling berkenalan. Ternyata nama gadis itu adalah Akta dan seusia dengan Naya. Mereka mulai akrab sejak peristiwa tersebut, kini Naya kembali sedikit ceria karena memiliki teman yang baik dan bisa menghiburnya dari perasaan gundah akan keselamatan keluarganya selama ini. Akta juga mengalami hal yang hampir sama dengan Naya. Akta pun tidak tahu bagaimana keadaan Ayah, Ibu dan adik sematawayangnya sekarang. Mereka saling mencurahkan isi hati mereka. Dari kejauhan, ternyata Hanif memperhatikan mereka berdua. Naya tidak tahu bahwa alasan Hanif memperhatikannya selama ini karena Hanif menyukai kepribadian Naya yang pendiam dan sangat menjaga kehormatan dirinya. Lewat Akta, Hanif ingin mencurahkan perasaan yang selalu membebani pikirannya selama hampir empat tahun itu. Sebuah tulisan sederhana yang tergores diatas kertas yang juga sederhana itu, dia titipkan kepada Akta untuk Naya. Tetapi Akta belum bisa menyampaikan amanah Hanif karena perasaan gundah yang masih membebani perasaan Naya.
“Aku tidak menyangka. Kita akan bertemu dengan keadaan hati yang sama. Aku sangat bersyukur,” Naya membuka tasnya dan mengambil selembar foto.
“Naya, apa kau tahu?” Akta mencoba untuk menceritakan hal yang sangat penting yang diamanahkan oleh Hanif kepada Akta. Belum selesai Akta berbicara,
“Oh iya. Ini foto keluargaku. Ini ayah dan ibuku. Dan ini mereka, kakak kembarku. Yang ini namanya Hasyim, dan satu lagi yaitu adiknya, Hisyam. Dan ini aku. Kuharap, bila kita berbeda pengungsian kita dapat saling membantu untuk menemukan keluarga kita. Bagaimana Akta?” Mata bening Naya mengisyaratkan bahwa di sedang dirundung kesedihan yang sangat mendalam. Tak lama kemudian, air mata Naya jatuh membasahi pipinya yang putih bersih. Akta langsung menggenggam pundak Naya dan menguatkannya. Akta yang terlihat lebih tabah hanya diam dan menunduk sedih atas derita yang dialami sahabatnya itu.
“Na, semua yang telah ditakdirkan oleh Allah itu adalah yang terbaik bagi kita. Jadi berdo’alah yang terbaik untuk mereka. Yakinlah, mereka pasti selamat di tempat lain. Percayalah,” Dengan mata berkaca-kaca Akta berusaha untuk membuat tangis Naya berhenti.
“Ta, maafkan aku ya. Maaf sudah merepotkanmu. Dan terimakasih banyak kamu sudah banyak membantuku.” Akhirnya tangis Naya pun berhenti juga. Lalu mereka berjalan beriringan menuju lantai tiga untuk beristirahat. Akta yang lebih tinggi dan berpostur tegap dibandingkan postur tubuh Naya yang kurus dan tidak terlalu tinggi itu cukup kuat menopang Naya yang tertatih-tatih dalam berjalan.
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
“Ada apa dengan kakimu, Na?” Akta terkejut saat melihat Naya memijat-mijat kaki kanannya.
“Ah, tidak apa-apa. Hanya sedikit nyeri.” Naya berusaha menyembunyikan luka dalam di betis kaki kanannya.
“Yakin? Tapi kelihatannya parah. Dan kamu terlihat pucat, Na. Ceritakan padaku.”
“Sudahlah. Percayalah padaku, aku baik-baik saja. Ayo cepat tidur Ta, supaya kita bisa shalat malam.”
“Baiklah.”
Bintang - bintang malam itu tersenyum memandang sepasang sahabat yang dengan tulus saling mengasihi, dan memahami. Terlelap dalam hening malam dan berselimutkan dinginnya angin malam, hati nurani masing-masing bercerita hal apakah yang akan terjadi pada mereka pada hari esok bersama waktu yang setia untuk menjawabnya.
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
Akta terbangun di sepertiga malam. Dia ingat akan kegemaran sahabatnya yaitu shalat tahajjud.
“Na, ayo shalat tahajjud. Sudah jam dua lebih empat puluh lima menit lho.”
Kiranya sudah lama Akta mencoba membangunkan Naya, tapi Naya tidak juga membuka kelopak matanya. Mungkin Naya kecapekan. Begitu batin Akta dalam hatinya. Lalu Akta berwudlu dan melakukan shalat malam sendirian. Sedang Naya masih terkulai lemas tanpa gerak.
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
Adzan shubuh mulai berkumandang. Semua orang sudah terbangun mendengar keindahan gema alam itu. Tetapi hanya Naya yang masih saja terbaring. Lalu Akta mendekatinya.
“Masyaallah! Naya!” Akta tidak menyangka kaos kaki di kaki kanan yang dipakai Naya sudah basah dengan darah. Akta mendekap tubuh Naya yang dingin dengan muka yang pucat. Akta berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua.
“Hanif!” Hanif yang sedang duduk termenung menikmati gema adzan shubuh yang merdu itu spontan terkejut dan mendatangi Akta.
“Ada apa?”
“Naya. Kenapa dia pucat sekali? badannya sangat dingin.”
“Apa?! Ada apa dengannya? Apa dia sakit?”
“Ayo. Ikuti aku!”
Mereka berlari menuju lantai tiga dan mendapati Naya yang tetap berbaring dengan muka yang pucat. Hanif yang kebetulan mengambil bidang kedokteran langsung memegang dahi Naya.
“Sangat dingin. Tolong kamu ambil tas warna biru di tempat aku duduk tadi ya Ta.” Hanif terlihat tegang dan was-was dengan keadaan Naya. Lalu pandangannya tertuju pada kaos kaki Naya yang semula cokelat muda, lalu berubah menjadi merah darah. Hanif memegang kaki Naya dan mengangkatnya. Darah segar menetes dari betis kanan Naya. Ternyata, luka yang sangat lebar selama inilah yang membuat Naya sering pusing dan terlihat semakin kurus. Naya kehabisan darah!
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
Sudah dua hari Naya hanya terbaring lemas tak sadarkan diri. Tubuhnya dingin. Kakinya memucat. Bantuan pun tak jua datang, karena angin kencang selalu menghempas isi kota setiap malamnya. Akta selalu berada di samping Naya sambil membaca Al-Qur’an untuk Naya. Semua pengungsi di masjid juga ikut mendo’akan Naya. Tak terkecuali Hanif. Lelaki itu sepanjang malam berjaga karena berharap agar Naya mampu membuka matanya kembali.
“Hanif, Naya mengamanahkanku untuk bisa membantunya agar bisa bertemu kembali dengan keluarganya,” Akta menyodorkan selembar foto yang pernah ditunjukkan oleh Naya kepadanya. Hanif hanya melihat foto itu sesaat, dia mengerutkan keningnya, lalu mengusap-usap wajahnya dengan tangan.
“Aku pasti akan membantumu.” Hanif berlalu dengan suaranya yang layu. Sebagai sahabat lamanya, Akta tahu bagaimana kepribadian Hanif yang selalu menyendiri kala hidupnya sedang dirundung masalah.
Tiba-tiba, sebuah helikopter datang dan terdengar suara sirene peringatan.
“Semua harap tenang, kami sudah mempersiapkan dua helikopter untuk mengangkut kalian semua menuju tempat pengungsian yang lebih aman. Jangan berebut, karena kami telah mempersiapkan tempat yang cukup untuk kalian. Persiapkanlah diri kalian, karena lima belas menit lagi kita akan berangkat.”
Akta terlihat sangat bahagia. Dia membopong sahabat barunya yang hanya diam dan terlihat pucat itu, dibantu oleh para pengungsi perempuan yang lain. Sementara Hanif mengikuti dari belakang sambil membawakan barang Akta dan Naya. Sampai di dalam helikopter, Naya langsung mendapat perawatan khusus yang sudah dipersiapkan.
“Bagaimana kondisinya, Dok?” Hanif bertanya dengan suara serak.
“Maaf. Kenapa bisa sangat buruk seperti ini? Luka ini terkena tetanus. Dan sudah sangat parah. Kami tidak memiliki alat yang lengkap untuk penanganan penyakit ini. Semoga tubuh gadis ini bisa melawan infeksi tersebut dan merespon obat penenang ini. Dan semoga waktubisa diperlambat untuk menyelamatkan kehidupan gadis ini.” Dokter terlihat sangat menyesal. Dan kata-kata dokter tersebut bagai hujaman pisau tajam yang menusuk perasaan Hanif. Sementara Akta hanya menangis tak percaya dengan vonis tersebut.
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
Akhirnya misi Tim SAR untuk mengevakuasi korban berhasil. Mereka sampai di tempat pengungsian yang letaknya jauh dari lokasi terjadinya tsunami. Akta duduk terdiam di samping ranjang rumah sakit dimana Naya terbaring tenang disana. Tubuh Naya sama sekali tidak merespon obat dan imun yang diberikan dokter. Kini, waktu serasa tak mengizinkan Naya untuk menggapai lagi impian kebahagiaannya bersama keluarga. Hujan gerimis yang turun, seakan menangisi detik terakhir Naya di dunia. Wajah pucat Naya berhiaskan senyum ketabahannya. Akta menangis sekuat-kuatnya atas kepergian sahabatnya itu untuk menuju surga Sang Kuasa. Sementara Hanif berusaha mencari keluarganya, keluargaAkta dan keluarga Naya yang selamat.Lalu, terdengar suara kaki yang mendekat,
“Naya!!” Hasyim, kakak Naya yang baru saja datang, terkejut melihat Naya terbaring kaku dan tak bergerak lagi. Akta menjauh, mempersilahkan Hasyim untuk mendekati Naya. Tak lama kemudian, seluruh keluarga Naya, Akta dan Hanif hadir berkumpul di rumah sakit tersebut. Akta langsung memeluk erat ibunya untuk mencurahkan kesedihan yang menyandat kalbunya.
“Nak, maafkan Ibu..” Ibu Naya mengecup kening Naya yang sudah dingin. Tangisnya tumpah melihat putri bungsu sekaligus putri sematawayangnya sudah tak lagi tersenyum ceria seperti saat dulu, dia datang menjemputnya pulang sekolah. Kakak Naya, Hasyim dan Hisyam menangis kala mencium dan mengelus tangan Naya yang sudah kaku itu. Sementara Ayah Naya memilih untuk menunggu di kursi luar kamar sambil mengirimkan do’a bagi putri sematawayangnya, matanya berkaca-kaca mengharapkan surga firdaus akan menjadi tempat terbaik bagi putrinya nanti.
Ya Allah, itu mereka..
Ayah, Ibu dan kedua kakakku..
Tolong jangan buat mereka terus menangis
Kabarkan padanya, aku bahagia disini,
Bersama dua malaikat tampanMu..
Katanya, aku akan menempuh waktu panjang menuju tempat keabadian..
Apakan itu surgaMu Ya Allah?
Apakah  aku akan bersanding disampingmu Ya Allah?
Terimakasih, telah Kau izinkan hamba,
Bertemu mereka walau ini yang terakhir kalinya..
Hanif pergi menuju masjid untuk mencurahkan betapa pedih perasaannya saat ini, tangannya menggenggam erat surat yang ingin diberikannya kepada Naya, tetapi waktu tak mengizinkan surat itu hadir di tangan Naya. Air matanya tumpah saat dia mengucapkan beberapa patah do’a untuk Naya kala harapan yang ingin dia petik terbang tanpa arah, berharap sampai untuk mengetuk pintu surga dimana Naya berada disana.
--TAMAT--
Karya : Nadiah Nur Lathifah (Sub KPM)

0 komentar:

Post a Comment