Hari ini hari yang aku sukai. Dengan langkah riang, aku pulang ke rumah dengan tas di punggungku. Aku baru saja pulang dari les piano. Bagaimana dengan pelajaran? Ah, tanpa bimbel di lembaga bimbingan belajar, aku bisa kok. Asalkan serius, semangat belajar, dan tak lupa rajin berdoa prestasi tinggal metik dari pohon kehidupan.
Sesampainya di rumah, tak seperti biasanya pandanganku tak lepas dari Ibuku yang tengah asyik menonton sinetron. Setelah kucium tangannya, aku tak lekas beranjak pergi. Hingga akhirnya, Ibuku tahu ada sinyal tak biasa pada diriku. Padahal, biasanya setelah cium tangan, aku langsung ke tempat dinasku, kamar.
“Ada apa Nada sayang? Kamu sedang ingin sesuatu?” tanya Ibu untuk menanggapi sikapku.
“Besok Ibu tidak lupa, kan?”
Ibu menunjukkan ekspresi mengingat-ngingat sesuatu. “Ti.. tidak,” jawabnya tidak meyakinkan.
“Aku akan sangat kecewa apabila Ibu benar-benar lupa,” ucapku dengan nada sedikit mengancam lantas aku beranjak ke kamar.
Baiklah, akan kuberi tahu apa yang aku maksudkan itu. Besok itu, tanggal 31 Juli. Yaitu hari dimana aku tepat berumur 16 tahun. Aku memang penggila hadiah. Aku selalu menuntut someoneku, sahabatku, dan tak lupa Ibuku untuk memberikanku hadiah. Memang Ibu tidak pernah absen untuk memberikanku hadiah ulang tahun. Tak jarang juga kado itu tidak murah harganya. Memang Ibu itu “Number one for me, the rest of my life”.
Esok paginya, saat berangkat sekolah, seperti biasa Ibu mengantarku ke sekolah menggunakan mobil. Sebelum aku turun dari mobil, Ibu menghentikanku.
“Nada, tunggu!”
“Ya, Bu, ada apa?” tanyaku dengan wajah sumringah. Di dalam benakku sudah terpancang satu harapan, yaitu Ibu memberikanku hadiah.
“Selamat ulang tahun, ya, Nak. Semoga tambah cantik, pintar, dan segala yang kamu inginkan dapat tercapai. Maaf, Ibu tidak bisa memberikanmu apa-apa,” ujar Ibu kemudian mencium keningku.
Apa, Bu? Ibu tidak memberikanku hadiah? Aku sangat kecewa…
“Ya, Bu, terima kasih banyak atas doanya. Tidak apa-apa kok kalau Ibu tidak memberiku apa-apa, ucapan selamat saja sudah cukup,” ucapku yang berusaha tulus walau hatiku menahan rasa kecewa yang amat dalam.
Turun dari mobil, aku menghela napas dan berusaha menghibur diri.
Ah, mungkin Ibu hanya pura-pura. Pasti nanti sampai di rumah, aku akan dapat kejutan.
***
Saat jam istirahat, aku menemui Ratih, teman dekatku.
“Hai Nada, selamat ulang tahun, ya?” ucap Ratih lalu memelukku.
“Ya, terima kasih.”
“Kenapa kamu terlihat tidak bahagia sih? Ada yang salah?”
“Baiklah, ayo kita duduk di taman sana, aku ingin cerita sama kamu,” ajakku lalu kuraih tangan Ratih dan berjalan menuju taman.
Kenapa hanya gara-gara Ibu tidak memberiku kado aku seresah ini, ya?
“Ratih, aku sebal sama Ibu! Padahal, biasanya di saat ulang tahunku ia tidak pernah absen untuk memberikanku hadiah, tapi tahun ini…”
Aku berharap Ratih menenangkanku atau memberi nasihat untukku. Ia paling ahli dalam hal itu.
“Oh, hanya itu yang membuatmu resah?” respon Ratih. Ia membenahi posisi dan menatap mataku lekat-lekat. “Menurutmu, kado terbagus dan terindah dari Ibumu apa?”
Aku terdiam sejenak berusaha mengingat-ngingat. “Ehmm motor, iya, motor!”
“Coba bayangkan kalau kamu tidak memiliki Ibu seperti Ibumu atau paling parah, kau tak punya Ibu. Apa kamu akan mendapatkan kado-kado semacam itu? Ibumu memberikan itu karena apa? Karena sayang sama kamu, Nada. Kado terbesar yang diberikan seorang Ibu adalah kasih sayang!” ujar Ratih yang berusaha menasihatiku.
Aku terhenyak dengan kata-kata Ratih. Aku menatap matanya yang mulai berkaca-kaca. Ia seperti memendam suatu rasa yang pedih. Ia merunduk dan aku melihat bulir-bulir air matanya mulai jatuh.
“Aku rindu Ibuku yang sedang di Malaysia. Bersyukurlah Nada, Ibumu selalu disisimu,” katanya dan tangisnya mulai pecah.
Hah, anak macam apa aku ini?! Memangnya apa yang telah aku lakukan dan perbuat untuk Ibu?! Ratih benar! Kasih sayang Ibu adalah kado terbesar dalam hidupku. Ibu sudah memasak untukku, antar jemput aku, merawatku, tapi aku masih minta kado di saat ulang tahunku?
“Ratih, sudahlah! Aku yakin sebenarnya ibumu juga ingin selalu di sisimu, tapi keadaan memaksanya. Kamu benar Ratih, kasih sayang ibu adalah kado terbesar dalam hidup kita.” Aku memeluk Ratih untuk menenangkannya. “Sudahlah kawan, jangan menangis lagi.”
Hatiku sekarang mengalah pada egoku. Mulai saat ini, aku harus mengubah perspektif kalau aku yang seharusnya memberikan kado kepada Ibu. Ibu pernah berkata kepadaku kalau aku adalah kado terbesar dalam hidupnya. Begitu juga denganku, Ibu adalah kado terindah selama hidupku.
Sesampainya di rumah, aku menemukan kotak seukuran kotak pensil tergeletak di meja belajar. Aku membukanya dan mendapati kalung dengan liontin berbentuk huruf N. Aku tersenyum dan langsung menemui Ibu. Saat itu, Ibu sedang memotong wortel dan aku memeluknya dari belakang.
“Ibu, Nada tidak butuh kado lagi sekarang. Ini,” ujarku sambil menyodorkan kado dari Ibu. “Ibu pakai untuk kebutuhan yang lebih penting saja.”
“Tumben kamu tidak mau kado,” sindirnya.
“Setiap hari, Ibu sudah memberikan kado untukku.”
“Apa? Uang saku maksudmu?”
Aku terdiam sejenak untuk menelan ludah. Entah kenapa aku merasa grogi akan berkata-kata manis di hadapan Ibuku ini karena belum pernah diriku mengucapkan kata-kata seperti ini sebelumnya. “Bukan, yang aku maksud kasih sayang dan ketulusan Ibu merawatku selama ini.”
Mendengar kata-kataku, tangan yang tengah memotong-motong wortel tersebut terhenti. Ibu membalikkan badan ke arahku dan menatapku. Senyumnya mengembang lalu memelukku erat. Aku benar-benar merasakan apa itu kado terindah di ulang tahunku, atau ulang bulan, ulang minggu bahkan sampai ulang detik. Tangan hangatnya yang selalu ada saat aku membutuhkan dan selalu menemaniku dalam suka duka itulah yang paling aku inginkan. Bukan emas, warisan, atau materi lain yang aku inginkan darinya.
Setelah melepas pelukan, aku berlari ke arah piano. Aku memainkannya dan menyanyikan lagu bunda. Tiba-tiba Ibu mengambil duduk di sebelahku dan berkolaborasi denganku. Kita bermain sangat indah. Seindah hidup kita yang selalu bersama dan saling menyayangi.
Ibu, kau isi dalam kado yang dihiasi pita cinta, manik-manik kasih sayang, dan dibungkus dalam perhatian.
Karya : Hindun Mar’atus S.
Editor : Alfin Ni'maturrohmah
nice story (y)
ReplyDelete