M.I.D : Miracle in December
ilustrasi : www.huffingtonpost.com |
Perpisahan ini yang membuat kami
terpisah oleh jarak & waktu. Aku seakan terombang-ambing di luasnya jagad
raya dan tak tahu akan kemana lagi langkah kaki ini berjalan.
Namaku Dina. Lebih lengkapnya Annisa
Nurul Islam Maidina. Anak ke 3 dari 4 bersaudara. Aku terlahir seperti tanpa
dinantikan. Mungkin inilah yang menjadi penyebab perpisahan ini. Enam
tahun, bukan waktu yang sedikit dalam penantianku. Air mata ini akan selalu
hadir menememaniku disaat aku mengenang masa-masa enam
tahun yang lalu.
Jakarta, January 20th
2005
“Kamu
lagi ngapain?” tanya seorang perempuan kecil dengan
beberapa makanan ringan di tangannya.
“Nggak
lagi ngapa-ngapain, Na,” bohongku,
menyembunyikan buku memori keluargaku.
“Kita sama-sama ditinggalkan oleh Ibu, jadi tak perlu sedih, jangan takut
sendiri. Aku sahabatmu, Kan?” katanya kembali menyangkal kebohonganku. Dia
memang pandai melihat mana orang yang berbohong dan yang benar berkata jujur.
Kinara. Sahabatku sejak kelas 4 SD.
Dia pindahan dari Bandung. Dia mempunyai latar belakang yang sama sepertiku.
Kita sama-sama keturunan Jepang, sama-sama hobi photographer dan sama-sama
ditinggalkan oleh ibu. Mungkin hanya keyakinan kita yang
berbeda. Aku tak tahu jelas apa alasan dia pindah, tapi sejak ibunya meninggal,
dia jadi seperti ini.
“Apa
kau menganggap aku sahabatmu?”
“Iya,
sahabat dekat,” jawabnya
dengan nada serius.
“Kalau begitu, berjanjilah akan selalu jadi sahabatku dalam waktu yang lama,
jangan pernah lupa sama aku jika kamu mendapatkan susah ataupun senang. Janji?” kataku
sembali mengulurkan jari kelingkingku berharap dia akan ikut mengulurkan jari
kelingkingnya.
“Janji,”
katanya singkat namun meyakinkan.
August, 16th
2006
Secercah cahaya pagi berhasil
membangunkanku dari indahnya pulau mimpiku. Sekolah baru, teman baru, seragam
baru, serta dunia baru siap aku rasakan. Aku antusias untuk menyambut hari
pertamaku ini setelah libur panjang. Kuraih HP ku di atas
meja belajar. Kulihat terdapat 1 pesan masuk dari seseorang. Kinara.
“ From : Kinara
“Kawan, aku tahu
aku salah. Jujur aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku minta maaf, telah
mengingkarimu. Ayah memaksaku untuk
pergi ke Jepang. Aku berusaha menolak, tapi nihil. Ayah tetap bersiteguh
membawaku. Maaf, beribu maaf aku katakan. Aku takkan pernah melupakanmu dan aku
yakin kamu akan mendapat teman yang lebih baik dari aku. Doaku selalu
menyertaimu.
Pesanku. Tetaplah tersenyum.
Jadilah seperti Malaikat. Senyum,senyum dan tersenyum.”
Received:
05:33:33pm
Today “
Air mataku mulai menetes lagi. Tanpa berpikir panjang,
kuambil jaket seadanya dan berlari menuju bandara.
Aku mendengar dari kejauhan Abi memintaku untuk kembali. Tapi hal itu
tak pernah kuhiraukan. Aku terus menambah kecepatan sepedaku agar cepat sampai
di bandara.
Sesampainya di bandara,
aku mencari sekeliling tempat di bandara, tapi nihil tak ada sama sekali sosok
sahabatku itu. Akhirnya aku bertanya kepada petugas di bandara tersebut, dia
mengatakan pesawat jurusan Jepang sudah berangkat 10 menit yang lalu. Seketika
aku terduduk lemas di tengah keramaian orang. ‘Aku kehilangan semuanya,’
gumamku disela tangisku.
Tiba-tiba datang seorang perempuan
paruh baya mendekatiku. “Ayo pulang, tidak ada gunanya kamu disini,
menangisi seorang teman yang tak menganggapmu teman,”
katanya.
“Oma,
jangan pernah sekali-kali oma berbicara seperti itu. Apa maksud Oma?”
kataku.
“Sudahlah,
kita selesaikan semua ini dirumah. Malu dilihat orang-orang,”
kata seorang lelaki berparas tinggi dan berwajahkan arab. Dia Rayhan.
Kakak laki-lakiku. Dia yang selalu mendukungku jika aku
selalu dimarahi Abi ataupun Oma.
Sesampainya di depan rumah aku semakin takut dan
gemetaran. Aku takut Abi akan memarahiku, “Gimana
ini, Kak? Aku takut Abi marah?” Tanyaku ke kak
Rayhan “Coba jelaskan saja semuanya, mungkin ini akan menjadi lebih baik,”
nasihatnya.
Benar
saja perasaanku. Sesampainya di rumah, Abi sudah
memasang wajah menakutkan.
“Dengar
Dina. Abi tidak mau kamu menjadi seperti ini lagi. Apalagi kamu sampai
mengejar dia ke bandara pula. Apa sudah tidak ada teman yang lain lagi ha?” kata
Abi membentakku.
“Aku
baru merasakan Abi benar benar membentakku, baru kali ini Abi. Abi tahu, Ummi
meninggalkan kita dan kakak kenapa? Jujur,
sampai sekarang aku tak tahu alasannya. Aku tak tahu kalau yang memisahkan aku
dengan mereka adalah Oma. Kenapa? Kenapa Oma
juga jahat? Apa salahku? Dan sekarang, satu-satunya
orang yang menjadi penyemangatku pergi. Aku benar-benar kehilangan semuanya,”
kataku panjang lebar. Air mata ini semakin deras mengalir. Merasakan benar-benar
runyam keadaan sekarang.
~2
Tahun Kemudian~
“ Suatu saat kamu pasti akan tahu. Belajarlah
yang rajin agar kamu dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.”
Hanya
kata itu yang masih teringat jelas di memori otakku. Dua
tahun berlalu. Aku jadikan sekolahku sebagai ajang penemuan jati diriku. Aku
berusaha untuk bangkit dari keterpurukan. Sebagian jiwaku hilang. Aku
kehilangan diriku yang dulu. Tapi aku berjanji kepada Abi dan kepada diriku
sendiri akan tetap bersungguh-sungguh dalam belajar untuk mendapat beasiswa
sekolah di Jepang.
~3
tahun kemudian~
Osaka, Japan.
August, 30th 2009
Syukurku persembahkan kepada Allah
SWT, Engkau telah mendengar doaku setiap malamnya. Aku sudah sampai di titik
impianku. ‘Inikah Osaka? Kota yang dulu menjadi
idamanku?’ gumamku dalam hati menatap lurus ke depan
indahnya Ibu Kota Jepang ini.
Sendai Ikuei Gakuen,Osaka, Japan. September, 01st
2009
Kon’nichiwa,
watashino namaeha DINA desu. Watashi wa Indoneshia kara kite imasu. Ni yorokoba
tasukeru. Arigato gozaimashita.
Satu minggu telah aku lewati disini. Jujur,
sekolahku ini tak terlalu beda dengan sekolahku dulu di Jakarta karena dulu SMP
ku sekolah milik perusahaan Jepang juga. Yang membedakan hanya orang-orangnya
saja. Disini, aku ikut ekstrakurikuler photography
karena sejak dulu aku hobi memotret gambar.
September, 08th 2009
Hari ini
aku sengaja berangkat sekolah lebih awal untuk menyiapkan segala sesuatu dalam
pentas. Karena hari ini adalah hari Milad sekolah. Jadi diadakan event besar-besaran.
Ketika
aku berjalan di koridor sekolah, sosok itu. Jelas adanya sosok itu di depan
mataku. Sosok yang sangat aku rindukan. Sosok yang dulu menghiasi hidupku.
Terlihat dia sedang sibuk mencari sesuatu di lokernya.
“Long time no see!” kataku membuka percakapan dengannya. Dia terkejut sehingga
membalikkan tubuhnya menghadapku.
“Dare
ga?” tanyanya kepadaku. Jelas terlihat di raut mukanya kalau dia
benar-benar tak mengenaliku.
“Apakah ada yang berubah dari
wajahku, sehingga kau tak mengenaliku lagi, Kina?” kataku yang lebih menekankan
namanya karena sedari dulu yang memanggil namanya Kina hanya aku.
“Kenapa kamu disini? Sejak kapan?” katanya mendadak kasar.
Sepertinya
dia sudah ingat siapa aku. Tapi anehnya kenapa dia seakan benci dengan
kehadiranku.
“Apa maksudmu? Kenapa seakan kau membenciku
ketika aku disini?” tanyaku
terheran.
“Karena aku tak pernah mengharapkanmu datang
kesini, rikai dekimasu ka!” katanya ketus lalu meninggalkanku sendirian
dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa dijawab secara logika.
Kejadian
tadi pagi masih jelas teringat di otakku. Apa maksud dari perkataan dia tadi.
Apakah ini lelucon? Ataukah ini benar fakta? Entahlah. Pertanyaan itulah yang
mengiang di otakku.
Keesokan
harinya aku mencoba mencari dan menunggu dia di tempat kemarin aku bertemu.
Berhari-hari aku menunggunya tapi tetap tak ada. Lelah dengan penantian itu,
aku mencoba cari tahu tentang kelas dia. Akhirnya
aku tahu dimana kelas dia. Aku langsung bergegas mencarinya.
Aku bertemu lagi dengan sosok itu. Aku
berusaha mengakrabkan lagi dengan dia. Aku berusaha bertanya tentang keadaan dia
dan maksud dari perkataan dia kemarin. Tapi, dia memasang wajah benci dan
marah. Dia menyuruhku menunggunya sepulang sekolah di taman belakang sekolah
jika ingin bertanya dengan dia. ‘Apakah dia malu berteman denganku?’ entahlah.
Di taman
belakang
Lama aku menunggu dia di sini. Sempat terlintas di pikirkanku, tentang
apakah mungkin dia akan datang. Aku rasa dia tidak akan datang. Tak lama
kemudian munculah seseorang yang aku tunggu.
“Aku minta
sama kamu, tolong jangan pernah temui aku lagi. Cukup sampai saat ini saja kita
bertemu dan anggap kita tidak pernah bertemu sebelumnya,” katanya spontan, lagi-lagi membuatku berfikir
tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Tapi kenapa?” tanyaku.
“Tolong, aku mohon. Jika memang kau masih
menganggapku sahabatmu, lakukanlah. Demi aku,” jawabnya lalu pergi meninggalkanku.
Aku
seakan terlempar oleh batuan besar yang langsung membuatku tak berdaya. ‘Apalagi ini? Kau benar-benar telah mengkhianatiku, Na. Jika memang ini yang kau inginkan, aku rela. Demi
kebaikanmu,’ gumamku.
Di lain
tempat
‘Maafkan
aku Dina, bukannya aku benci denganmu. Tapi aku tak mau membuatmu tahu tentang
kehidupanku sekarang. Karena itu pasti akan melukaimu’
~2 tahun kemudian~
Selama 2
tahun ini, aku tak pernah lagi bertemu dengan Kina. Rindu memang dengan
kawanku, tapi aku tak bisa apa-apa. Sampai sekarang, kelulusan itu datang. Syukurku
persembahkan kepada Allah SWT karena namaku tertulis di papan pengumuman bagian teratas dengan peringkat 1. Aku
langsung menghubungi Abi. Abi begitu senang mendengar berita itu
dan memintaku segera pulang ke Indonesia.
Keesokan
harinya aku bergegas ke bandara untuk pulang ke negaraku tercinta sekaligus liburan. Ketika di bandara tersebut aku melihat seseorang yang tak lagi aneh.
Kinara. Tapi anehnya dia sedang bersama dengan seorang
wanita berjilbab. Sepertinya sangat aneh. Karena menurutku selama ini, dia
tidak mempunyai teman muslim selain aku. Karena rasa penasaranku, aku
mendekatinya.
“Kina, siapa dia?” tanyaku saat aku melihat
dengan jelas sosok yang ada di samping Kina.
Karena tahu dengan keberadaanku sekarang, dia langsung menarikku
pergi dari tempatnya.
“Aku kan sudah pernah bilang. Jangan pernah
menemuiku lagi,” katanya
ketus.
“Tapi tadi
siapa? Jangan bilang dia,” tanyaku
yang mulai penasaran tetapi terhenti seketika.
“Benar,
seperti apa yang kamu lihat. Dia orang yang yang selama ini kamu cari. Aku
sengaja menyembunyikan dia, aku juga sengaja menjauhimu, sengaja jahat padamu agar kamu tak
mendekatiku. Karena semakin kamu mendekatiku, akan semakin sakit luka yang kamu
rasakan,” jawabnya
terbata-bata disela tangisnya.
“Aku mohon
padamu. Jangan pernah menunjukkan wajahmu di depannya. Dia sudah menjadi ibuku.
Kau tahu, aku tak pernah mndapatkan kasih sayang ibu sejak kecil, jadi aku
mohon jauhi diriku,” lanjutnya
memohon-mohon.
“Tapi kamu
juga harus tahu, aku merasakan penantian ini sangat lama. Aku harus merasakan
tekanan batin ketika berhadapan dengan Abi juga Oma. Dan
sekarang, tepat aku melihat orang yang benar-benar kunantikan ada di depan
mataku, aku tak boleh berbuat apa-apa?” air mataku keluar lagi, merasakan hal
ini.
“Kinara, no ie ni
ikou,” terdengar teriaknya memanggil Kinara
Lalu dia
pergi meninggalkanku. Kulihat sosok perempuan tadi yang semakin lama semakin
menghilang dari pandangan. Mungkin, aku harus bisa melupakan mama dan melihat mama tersenyum dengan orang lain. Mungkin.
Jakarta, September 06th 2011
Jakarta,
hello. Kita bertemu kembali setelah 3 tahun kepergianku. Tiga bulan
lebih aku berada disini. Aku sengaja mengisi hari liburku di Jakarta bersama Abi
dan Kakakku. Semua tentang mama telah aku ceritakan pada kakak. Tapi belum
dengan Abi. Karena aku takut jika Abi tahu pasti aku tak boleh
sekolah di Jepang.
Beberapa
hari yang lalu, ada 1 pesan masuk dari nomor asing. Aku tahu kalau itu nomor
Jepang, tapi dari siapa aku belum tahu. Setelah aku buka ternyata
isinya tentang Ummi. Jadi aku berfikir itu pasti Kinara. Disitu dia
meminta maaf atas perilakunya selama 3 tahun, dan juga dia memintaku untuk
pergi ke Jepang menemui Ummi. Awalnya aku merasa ini hanya bohong. Mana mungkin
Kinara yang dulu bersiteguh tidak mau mempertemukan aku dan Ummi,
sekarang jadi memaksaku. Tapi ternyata ini benar, Kinara sudah mengakui kalau
dia salah. Dengan adanya itu, aku memilih berangkat ke Jepang 1 minggu lagi
bersama Kakakku. Aku ingin kakak juga bisa melihat seseorang yang telah
meninggalkannya dulu.
Tokyo, Japan. September 14th 2011
Kini aku
berada di Tokyo. Aku berharap Kinara benar-benar menepati janjinya. Hari ini
dia mengabariku lagi. Dia mengatakan akan membuat kejutan buat
Ummi di Hari Ibu dengan
menghadirkanku dan kakak. Hari ini masih bulan September dan bulan Desember kan
masih lama, tapi tak apa, aku rela menunggu demi mama.
December 22, 2011
Akhir
tahun, aku berharap ini akan menjadi suatu kenangan yang luar biasa hebatnya.
Aku datang ketika Ummi bersama kakakku perempuan, adikku dan juga
Kinara. Ummi tekejut bukan main ketika Kinara menyuruhku untuk menemui Ummi.
“Ummi, masih ingat siapa kita?” tanya Kak Rayhan dengan nada sedikit bergetar.
Seketika itu Ummi memeluk kita berdua,
erat dan sangat erat. Ummi tak bisa menyembunyikan rasa sedih serta
tangisnya. Aku tahu ini sangat mengharukan. Beberapa tahun penantianku kini
terbayar sudah.
Kulihati sosok disamping Ummi. Dulu, seorang malaikat kecil yang lucu sekarang dia
menjadi remaja yang cantik. Kuraih lalu kupeluk dia. Dalam lirihnya dia berkata
padaku, “Aku rindu
kakak.”
“Maaf, Dina. Bukan keinginanku untuk
memisahkan kalian, tapi aku juga ingin merasakan punya mama,” kata Kinara.
Aku terkejut ketika melihat Kinara.
Dia datang dengan pakaian yang panjang dan menutup aurat. Belum sempat aku
bertanya dia sudah mengatakan
terlebih dahulu bahwa dia sudah mualaf sejak Ummi menikah dengan
Ayahnya. Aku semakin bangga pada Ummi, dia berhasil membuat sahabatku
berada di jalan yang benar.
“Mama, hari ini aku sengaja mempertemukan
kalian agar kita bisa bersama-sama merayakan Hari Ibu, karena hari ini mamaku adalah mamamu juga. Kita
saudara, Dina,” kata
Kinara. Aku melihat sebuah kebahagiaan yang tergambar jelas di wajah Kinara.
“Kina
wa, subete no tame ni arigato gozaimashita,” kataku sambil memeluknya.
Tiba-tiba kembang api terbentuk di angkasa.
Pemandangan yang sangat menarik. Kami semua menikmati
kebersamaan yang baru ini. Sebuah keluarga baru yang baru saja aku rasakan.
Karya : Yu Anita N.V
Editor : Alfin
Ni’maturrohmah
Bagus ceritanya, tapi sayang latar waktunya terlalu panjang. Konsistensi bahasanya juga. kalau teksnya bahasa Indonesia, ya penanda waktunya pakai Indonesia juga.
ReplyDelete