BERUBAH 1800
Tak ada harapan lagi, soal-soal
Matematika, Fisika, bahkan
Bahasa Inggris pun
banyak yang belum terjawab.
“Bodoh! Waktu tinggal 10 menit lagi,” pekikku
dalam hati. Tanganku
mulai berkeringat dingin, apa
yang harus kulakukan?
“5 menit lagi!” kata
pengawas. Mati
aku, waktu
akan terus berjalan. Akhirnya
kujawab soal-soal itu asal-asalan. “Waktu habis, kumpulkan sekarang!” kata pengawas dengan
sangat mengejutkan. Kukumpulkan
saja kertas tesku dengan tangan yang gemetar. Pasrah, satu
kata yang bisa kuterima saat ini.
Kutinggalkan ruang tes dengan langkah
gontai, sementara tanganku masih
gemetaran.
“Dorr!!” sapa Lisa mengagetkanku.
“Astagfirullahhal
adzim, Lisa!” ucapku
kaget. “Apa-apaan sih lu?” ucapku
lagi yang sedikit membentak.
“Eh, gimana
tesnya?” tanya Lisa. “Nol besar, gak
ada harapan! Happy banget sih lu, emang
soalnya gampang ya?” kataku
lemas.
“Nggak juga sih...” jawab
Lisa.
Kurebahkan tubuhku di ranjang sepulang
dari sekolah yang setara dengan SMA itu. Sudah terlihat
bagaimana jadinya nanti. Mungkin
tidak diterima, itu
pasti. Kalau
aku tidak diterima, apa
yang akan
kukatakan pada mereka nanti? Arnia Wijayanti, TIDAK DITERIMA.
“Arrgh!” pekikku
dengan menggeleng-geleng, mencoba menghapus pikiran burukku itu. Tidak
seharusnya seperti itu, berpikir positif aja lah!
Aku kehilangan semangat. Aku
tahu
aku memang tak pintar, juga bodoh. Sudah
hampir
2 bulan ini, aku
sama sekali tidak memegang buku. Aku bukanlah
orang yang rajin. Tapi, kalau
berusaha mungkin aku bisa. Namun kali ini beda, ini
sekolah favorit. Banyak
yang menginginkannya.
Seminggu berlalu, saatnya
pengumuman. Pikiran
buruk tak terjadi dan berubah menjadi sesuatu yang baik. Di sana
tertulis, Arnia
Wijayanti, DITERIMA. Ini
mimpi? Ah, ini bukan mimpi, ini kenyataan. Bahkan
Si Kutu (Lisa)
juga diterima. Ingin kutemui Lisa, tapi dimana dia
berada.
“A…itu dia!” kataku. Kulihat
dia terbengong-bengong di sebuah bangku depan sebuah kelas. “Eh kutu, kita diterima!” kataku. Lisa
hanya mengangguk kemudian kegirangan
setengah mati. “Terima
kasih ya
Allah!” kata
kami bersamaan.
Yah, begitulah
ceritanya. Aku
mulai
menjalani MOS-ku
dengan gembira,
juga kegiatan-kegiatan lainnya dengan sangat senang. Hingga tibalah minggu
pertama sekolah di sekolah favorit tersebut. Pertama, kesan
pertama memang menyenangkan.
Berangkat sekolah pagi sekali, masuk, pelajaran, istirahat, pelajaran, istirahat, pelajaran, terus
pulang. Pulang
kerjain PR, malam,
belajar. Itulah
yang terjadi setiap harinya. Saat pulang sekolah Lisa
menemuiku, “Nia, tugas tiada
habisnya,” ujar Lisa.
“Sabar ya, Kutu
harus kuat. Aku
juga sama sepertimu, Lis.” Jawabku.
“Kau enak ada di
kelas F, aku? Aku
di B. Tugasku
lebih berat dan banyak darimu.”
“Kau benar juga,” jawabku. Kemudian, kami tenggelam dalam keterpurukan
sendiri-sendiri.
Lama-kelamaan, penyakit
malasku mulai
kambuh lagi.
Mulai tak begitu mendengarkan penjelasan guru, kesulitan mengerjakan
PR, berangkat
sering terlambat, dan
malas belajar di rumah. Entah apa yang kupikirkan, setelah
kegirangan bisa masuk sini tapi setelah melihat kenyataan yang sebenarnya, semuanya
berubah. Aku
sungguh tidak memahami ini, aku terpuruk.
Malam itu, aku mengerjakan
PR matematika. Tiba-tiba
tak sengaja kujatuhkan bolpoinku di atas tumpukan
buku-buku yang ada di atas meja belajar.
“Kenapa
begitu sulit? Apa aku sebodoh ini hingga aku tidak bisa sama sekali
mengerjakannya?” marahku pada diri sendiri. Penderitaan ini belum selesai,
karena besoknya juga ada ulangan matematika. Paham
saja belum, apalagi
ulangan? Aku
akan mati di tangan guru matematika besok.
Tet…., bunyi bel masuk
setelah istirahat. Tegang, takut, cemas
bercampur memasuki diriku. Bu Arin memasuki kelas, lalu mulai membacakan soal ulangan hari itu. Mulai
lagi tanganku berkeringat dingin, kukerjakan soal matematika itu sebisaku. Ini bukan soal
pilihan ganda, aku
tidak bisa menjawab asal-asalan. Kukumpulkan saja
soal dengan tangan gemetar, sama seperti
saat itu. Semoga
Allah memberi kemudahan padaku kali ini, sama seperti
saat itu.
Lusanya, pembagian hasil
ulangan. Jantungku
berdebar-debar. “Arnia
Wijayanti..” panggil
Bu Arin. Aku
maju ke depan, kemudian kuambil kertas ulanganku. “Nilaimu
65. Apa
kau tidak belajar?” tanya Bu Arin.
“Maaf, Bu....” jawabku lalu duduk dan
tertunduk lesu.
“Kau tak apa?” Gita, teman
sebangkuku.
“Aku tak apa. It’s okay!” jawabku.
Kutemui Lisa Si Kutu di kantin siang
itu.
“Kutu,
aku dapat nilai jelek.” Kataku.
“Dasar bodoh, ini
bukan dirimu, dimana
semangatmu?”
“Aku sudah
kehilangan semangatku. It’s hurt!” kataku.
“Kau kurang
belajar. Apa
penyakitmu itu udah comeback?” tanya Lisa. Aku hanya
mengangguk. “Aneh
lu, penyakit masak comeback.” Lanjutku.
“Aku hanya ingin
menghiburmu saja.” Jawab Lisa.
“Tenang saja Lis,” kataku
sambil menggebrak meja yang sontak mengagetkan Lisa.
“Eh kau
ini, mengagetkan
saja.” Jawabnya
dengan kaget.
“Aku akan merubah
semuanya dan memulai semuanya dari awal. Aku tak ingin
dapat nilai jelek lagi.” Kataku.
“Baguslah
kalau begitu.” Pungkas Lisa.
“Hanya itu?”
tanyaku.
“Iya, apalagi
yang kau harapkan?” Lisa balik bertanya. Aku hanya
mendengus kesal padanya. “Dasar Kutu!” lanjutku.
Benar saja, mulai
saat itu, hari-hariku
sibuk dengan belajar dan mengerjakan tugas. Semua
yang sudah terjadi mulai dari ulangan, PR, tugas, kegiatan, dan semua yang ada
di sekolah favorit ini sukses membuatku berubah 1800 dari sebelumnya. Dan akankah aku dapat nilai-nilai yang baik selanjutnya? Kita lihat saja nanti.
Karya
: Iva Jaziilatur Rohmah
Editor
: Indah Nur H.
0 komentar:
Post a Comment