Sinar mentari memasuki jendela kamarku, kumulai membuka kelopak mataku dan segera beranjak dari tempat tidur.
“Hari ini, semoga bisa berjalan lancar.” Ucapku dengan penuh semangat dan melangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Setelah selesai merias diri, kuturuni anak tangga satu persatu. Langkahku terhenti ketika perempuan paruh baya memanggil namaku.
“Nada, kau sudah mau berangkat?” ucap wanita itu yang kusebut mama, dan kuanggukan kepalaku pertanda mengiyakan.
“Kau tidak sarapan dulu?” tawarnya kemudian menghampiriku.
“Tidak Ma, hari ini Nada ada tes di kampus.” Ucapku menolak tawaran mama dan segera beranjak pergi menuju teras rumah.
Suara klakson mobil tiba–tiba tin ... tin ... tin ..., sukses membuatku terlonjak kaget. Seorang wanita berambut panjang melangkahkan kakinya ke arahku.
“Kau, suka sekali membuat jantungku kaget.” Ucapku ketus padanya, wanita ini adalah sahabatku namanya Tresia.
“ Sudahlah, ayo cepat! Terjadi sesuatu di kampus.” Ucapnya seraya mendorongku ke dalam mobil. Aku tak pernah melihat wajahnya seburuk ini, terlihat sangat ketakutan.
* * *
Mobil Tresia memasuki halaman kampus, terlihat gerombolan mahasiswa di sudut halaman, entah apa yang terjadi hari ini? Kuturun dari mobil Tresia, hampir saja kakiku melangkah meninggalkan mobil, pegangan erat menggenggam lenganku. Tresia menarikku masuk ke dalam kampus menuju sebuah ruangan kecil yang tak asing buatku. Saat kumasuki ruangan itu, langkahku terhenti ketika melihat potongan–potongan kayu dan sterofom berserakan di mana–mana.
“Ada apa ini?” ucapku tiba–tiba kepada semua penghuni di ruangan itu.
“Anuuu Nad, madingnya rusak!” ucap salah seorang lelaki berkacamata tebal yang bernama Danu.
“Kok bisa, siapa yang nglakuin ini?” kataku dengan amarah yang hampir mencapai ubun–ubun.
“Kami juga tidak tahu Lis, tahu–tahu keadaannya udah gini.” Jawab laki–laki yang ada di sampingku bernama Andrew.
“Apa ini maksud Tresia tadi, pantas wajahnya sangat berbeda dari biasanya. Tapi, siapa yang nglakuin ini semua?” semua pertanyaan itu berputar – putar di kepalaku.
* * *
Aku pergi meninggalkan ruang mading, langkah kakiku terhenti ketika melihat sesosok wanita yang sangat kukenal dan sangat kubenci.
“Sherly?” tatapanku hanya tertuju padanya. Dia melangkah pergi menuju suatu kelas di sudut ruangan.
“ Itukan kelasku,” gumamku lalu melangkah mengikuti langkahnya. Kumasuki kelas, tampak Sherly sedang duduk sendiri tanpa seorang pun menemaninya, kemudian aku duduk di bangku paling belakang dan memulai aktivitasku untuk belajar.
“Nad, kamu kok udah di sini? Kamu enggak ikut bersihin ruangan mading?” ucap Tresia yang tiba–tiba mengejutkanku.
“Kamu tuh, sehari aja enggak buat aku kaget enggak bisa apa?” ucapku ketus padanya.
“Maaf deh, lagian dari tadi aku lihat kamu nglamun aja, kamu sakit ya?”
“Enggak, maaf aku enggak bisa ikut bersih–bersih. Aku lagi mikirin....” ucapanku terpotong ketika Sherly menatap ke arahku, terlihat tatapan polos dan senyum tersungging di bibirnya. Kupalingkan wajahku pada Tresia, dan tersenyum padanya.
“Loe, lagi mikirin Sherly ya?” ucapnya yang terlihat bisa membaca pikiranku. “Loe tahu Sherly itu ternyata anak dari pemilik kampus ini, dan yang digerombolin anak–anak cowok tadi itu dia.” ucapannya kali ini terlihat sangat hati–hati, sekejab dia menatapku lalu memalingkan wajahnya ke arah buku di atas mejanya.
Tes telah usai, segera kutinggalkan ruang kelasku dan mengajak Tresia untuk segera pulang. Hari ini, aku ingin cepat–cepat pulang, langkahku terhenti ketika aku dan Sherly bertatap–tatap muka. Sherly tersenyum ke arahku, membuatku terdorong untuk membalas senyumannya, hanya senyuman tipis kuberikan padanya.
“Nad, aku mau ngomong empat mata sama kamu!” ucapnya tiba–tiba, dan menarik tanganku dengan paksa ke arah sudut ruangan yang jarang dilintasi mahasiswa dan dosen-dosen. Tresia yang melihat tindakan Sherly hampir mengejarku, tapi kuberi kode untuk tidak mengikutiku.
“Sher, lepasin tanganku, sakit....” ucapku sedikit kesal pada tindakannya ini. “Kamu mau ngomong apa? Aku enggak punya waktu banyak.”
“Aku mau minta maaf ke kamu, karena tindakanku 2 tahun lalu, aku sudah merusak persahabatan kita cuma gara–gara cowok. Aku bener–bener nyesel, kamu tahu sejak kamu menjauh dari aku, aku kesepian enggak ada seorang pun di sampingku. Apalagi, saat cowok itu selingkuh dan khianati aku. Penyesalan itu emang datang belakangan, kenapa aku bisa termakan omongannya dan khianatin sahabatku sendiri, aku benar–benar bodoh.” Ucapnya, lalu air matanya mulai menetes di pipinya. Kuusap air matanya dan tersenyum kepadanya.
“Kamu tahu, rasa sakit ini enggak bisa hilang begitu saja. Sahabat yang selama ini aku banggain udah nglakuin hal yang enggak mungkin dilakukan oleh seorang sahabat. Apalagi sahabat terbaik.” Jawabku dengan nada yang sangat tidak bersahabat.
“Aku minta maaf, dulu aku salah paham sama kamu. Sekarang aku sudah tahu yang sebenarnya, yang bener–bener berkhianat itu laki–laki itu.”
Kuterdiam sesaat, mencari jawaban pasti tentang semua kata–katanya. Kutatap kedua bola matanya yang terlihat bersinar, tak sedikit pun ada kebohongan di matanya. Aku mulai berpikir, apakah aku harus memaafkannya atau aku pergi begitu saja dan mengacuhkannya? Rasa sakit ini, begitu saja telah hilang di dalam hatiku. Kini yang ada di dalamnya, hanya perasan hangat yang sangat kurindukan.
“Kau masih ingat semboyan kita?” tanyaku tiba–tiba.
“Maksud kamu? Semboyan....”
“Sahabat Kini, Esok dan...” kupotong kalimatku dengan sengaja.
“Dan selamanya!” ucapnya dengan senyum mengembang di bibir mungilnya.
“Aku maafin kamu, sahabatkan enggak boleh terpisahkan.” Ucapku dengan senyum jahil.
“Beneran, Nad? Kamu enggak bohong?” ucapnya menyakinkan.
“Ngapain aku bohong,” kami tersenyum bersama dan kembali ke tempat Tresia.
Saat kami ke tempat Tresia, terdapat gerombolan mahasiswa dan mahasiswi di ruang mading.
Aku berusaha memasuki ruangan, kudapati semua anggota mading terdiam di tempat. Hanya satu pertanyaan yang terlintas di benakku, “Kenapa Andrew diikat di atas kursi?”
“Ada apa?” tanyaku berbisik ke telinga Tresia yang ada di sampingku.
“Kenapa kamu melakukan ini semua?” tanya seorang pria paruh baya, dia adalah Pak Chris, Kepala Kampusku ini.
“Saya ... tidak ada alasan apapun, saya melakukan ini hanya karena pelampiasan rasa kekecewaan saya pada mading ini. Karena, mereka memuat berita yang tidak benar tentang saya.” Pembelaan Andrew kepada kepala kampus.
“Sekarang, bawa Andrew ke ruang guru!” perintah Pak Chris.
Semua mahasiswa dan mahasiswi mulai membubarkan diri. Hari ini benar-benar hari yang paling spesial buatku, nilai tes dapat nilai tertinggi, pelaku pengrusak mading terungkap, dan SAHABAT LAMA KEMBALI LAGI....
Karya : Tresia Qottrunada
Editor : Indah Nur H.
0 komentar:
Post a Comment