PESAN
TERAKHIR IFAH
Aku duduk di taman sekolah
seperti kebiasaanku setiap jam istirahat. Sesekali ku sempatkan melirik ke arah
barat. Hmm, ku lihat ada gadis cantik yang sedang tersenyum dan menuju ke
arahku.
“Heii...” sapanya. Aku hanya
tersenyum melihatnya. Dia lalu duduk di dekatku. Aku dan Hana memang sudah 3
tahun bersama. Kita sering menghabiskan waktu bersama-sama. Dia sering sekali
main ke rumahku. Aku pun juga demikian.
“Eh Na, nanti malam aku ada acara, kamu mau ikut
nggak?”
“Emmm ya, boleh juga. Emang ada acara apaan?” tanya
Hana.
“Nanti malam, aku mau ikut kajian Islam di masjid.
Seru lho acaranya!”
Hana memang merasa terkejut dengan ajakanku. Tapi
aku mencoba merayunya. Aku tahu bagaimana sosoknya. Dia hanya belum siap untuk
merubah tabiatnya yang seperti anak cowok.
Tepat
pukul 19.00
Kugendong tas coklatku, dan
kupakai jam tangan hitam, warna kesukaanku. Tak
lupa, kupintakan izin untuk berangkat kepada orang tuaku. Lalu kuambil kunci
motor yang hendak kunaiki, lengkap dengan helm
merah yang melekat di atas jilbab putihku, siap menjagaku selama perjalanan
menuju rumah Hana nanti.
“Brum,brum,,,”
Kurang dari sepuluh menit, aku
sudah sampai di rumah Hana. Rumahku memang tak terlalu jauh dari rumahnya.
“Assalamualaikum...” sapaku kepada ibu Hana yang
sedang berada di teras rumah.
“Waalaikumussalam Warahmatullah, eh Nak Ifah, mau
cari Hana ya? Ada tuh di dalam. Silahkan masuk Nak!”
Aku pun masuk dan duduk di sofa ruang tamunya.
“Ayo kita berangkat!” sambut Hana
“Subhanallah, kamu terlihat begitu cantik dengan
pakain itu.”
Aku tahu Hana memang agak risih dengan pakaian
muslimah yang dikenakannya. Tapi dia mencoba untuk tetap memperlihatkan
kenyamanannya di hadapanku.
Di majelis, aku dapat banyak
sekali hal yang belum aku tahu tentang Islam. Sedikit demi sedikit, aku mulai
mencoba merubah tabiat buruk ku. Maka dari itu, aku juga ingin sekali
Hana bisa berubah, karena aku ingin kelak kita akan masuk surga bersama.
Pikiranku
mulai terlamun jauh. Tiba-tiba aku merasakan pusing yang sangat hebat menyerang
kepalaku. Hidung ku pun terasa sesak sekali untuk bernapas. Sakit, sakit
benar-benar sakit yang ku rasakan. Remang-remang, suara ustad yang sedang
mengisi acara tersebut perlahan mulai lirih sekali. Sempat aku merasakan dan
mendengar jeritan Hana. “Ifah, Ifah...” suara itu begitu indah. Tapi aku mulai
tak mendengarnya.
***
Tubuhku
lemas, sakit, sakit itu masih tersisa dan membuatku sangat malas untuk
menyempatkan mataku melihat sekelilingku.
“Ah Hana, dimana dia?” suaraku pun masih
terbata-bata mengucapkan kalimat itu. Tapi ingatanku mulai terisi kembali
dengan masa-masa indah saat aku dan Hana bersama, bercanda ria. Kucoba mulai
membaringkan tubuhku hingga akhirnya aku berhasil dalam posisi duduk. “Di mana
aku?” aku heran, rasanya tadi aku masih bersama Hana. Tapi kenapa kini aku di
tempat ini. Ya, aku berada di sebuah rumah sakit yang tak jauh dari rumahku.
Tanganku yang sedang disalurkan dengan sebuah penghubung inpus yang
membuatku bingung bagaimana aku mendeskripsikannya. Tapi yang jelas, hal itu
merupakan bukti yang kuat tentang apa yang kualami sekarang. Perlahan kucoba
menengok arah sebelah kananku. Hana, dia sedang tertidur lelap karena kelelahan
menemaniku. Ya, sekitar 6 jam sudah aku di sini tanpa sadar. Sementara orang
tuaku mungkin sedang mencarikan makanan untukku.
“Ifah, kamu sudah siuman?” tanya
Hana menatapku sambil memegang erat tanganku dengan jemari-jemari lembutnya.
Aku hanya tersenyum melihatnya. Dia memang sosok yang sangat perhatian
denganku. “Na, kamu mau nggak melakukan sesuatu untukku?”
“Apa itu? Pasti aku akan melakukannya untukmu.”
“Kamu yakin dengan ucapanmu?”
“Tentu Ifah,”
“Pintaku memang tidak banyak, maukah kau mengenakan
jilbab ungu ini setiap hari? Tetapi bukan hanya sekedar mengenakannya karena
ingin terlihat cantik atau hanya ada event-event tertentu?”
Hana tertunduk, dia mungkin
bingung entah karena apa. Aku pun juga tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan.
“Aku tidak memaksamu Hana, semua pilihan ada di
tanganmu.” Kemudian kupegang tangan kanannya. “Lihatlah Hana, tanganmu begitu
indah. Tapi di balik tanganmu yang indah ini Allah memberikan amanah untukmu.”
Aku menarik tulang-tulang pipiku sehinnga aku pun menjadi kelihatan tersenyum.
***
Hari ini aku mulai membaik,
dokter mengijinkan aku untuk pulang. Aku pun bisa berangkat ke sekolah. Seperti
biasa aku menunggu Hana di taman sekolah. Tiba-tiba datang seorang yang mulai
mendekatiku perlahan. Tapi aku tetap fokus membaca novel islami dan menundukan
kepalaku.
“Ifah...” suara itu sangat aku
kenal. Aku mulai memandang seorang tersebut. “Hana...” seruku. Aku tidak
percaya, aku melihat perubahan Hana yang drastis 180 derajat. Dia terlihat
lebih cantik mengenakan jilbab ungu, warna kesukaannya yang kuberikan kemarin.
Subhanallah, begitu syar’i. Tutur katanya pun menjadi sangat halus serta lembut
dan baik. Aku pun mengidolakan ia kini. Begitu luar biasa memang. Allah,
terimakasih atas segala hidayah-Mu terhadap hamba-Mu.
***
Hari
ini aku lelah sekali. Tapi aku senang. Begitu banyak hal yang membuatku bahagia
dan merasa damai.
“Aku nggak sabar dengan hari
esok. Aku bisa ketemu Hana lagi. Emmb, aku mau iseng bikin surat deh buat dia.”
Dear My Bestfriend,
Hana,
makasih buat semua ini yang telah kau berikan untukku. Kamu adalah orang yang
perhatian denganku. Makasih selama ini kamu udah setia nemenin aku. Kita sering
melewati bersama berdua. Aku senang kamu sudah mau berhijab dengan syar’i.
Makasih yaa!!
Love,
Nafah
Humairoh
Kring, kring... suara handphone Hana berdering tepat jam 03.00 pagi.
“Halo, Assalamualaikum, ada apa
Ifah?”
“Maaf Nak Hana, bisa Nak Hana
pergi ke sini sekarang?
Ttuuut, ttuttt...
Telepon itu langsung segera tertutup. Hana bingung
kenapa ibu Ifah telpon sambil nangis-nangis begitu. Apa yang sebenarnya
terjadi? Pasti ada yang tidak beres. “Aku harus ke sana sekarang.”
Tepat di rumah Ifah, ada banyak
orang disana. Juga bendera kuning yang tertancap di halaman rumahnya, yang
membuat Hana jadi kebingungan.
“Ifah...” Hana pun teringat pada sosok sahabatnya
yang sudah membuatnya berubah 180 derajat.“Ifah, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Sabar ya Nak Hana,” lirih ibu Ifah dalam larutan
kesedihannya sambil menyodorkan sepucuk surat yang entah isinya apa.
Air mata Hana pun belinang perlahan. Butir demi
butir cerita yang pernah mereka ukir menambah kesedihan dalam wajah Hana. Lalu
dibukanya surat yang diberikan oleh Ibu Ifah tadi.
Betapa terkejutnya Hana melihat
isi surat tersebut. Memang begitu cepat sekali sahabatnya pergi.
“Seharusnya aku yang berterima
kasih padamu Ifah. Kau telah membuatku menjadi lebih baik dan mengajarkan aku
banyak hal. Semoga kau tentram di alam sana Ifah, sahabatku. Doaku selalu
menyertaimu Ifah.”
Karya : Istik Nafiatur Rosyidatuz Zulfa
Editor : Indah Nur H.