‘Saat ini aku
berada dalam kehidupan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, aku berada di
sekitar orang-orang yang menyayangiku. Dukungan atas semua mimpi-mimpiku terus
mereka berikan padaku. Semestinya aku bersyukur memiliki mereka dalam hidupku,
tapi aku justru takut akan mengecewakan semua dukungan, waktu dan tenaga mereka,’
tergores sudah pena bertinta hijau pada buku diary milik Dinda. Dinda menunduk
setelah menutup buku diarynya. Terlalu sulit untuknya menyesuaikan diri dengan
keadaannya saat ini yang sudah tiga bulan resmi naik ke kelas sebelas IPS dan
menemui berbagai masalah menyangkut mimpi dan masa depannya. Ia bergegas
mengambil air wudlu lalu memanfaatkan sepertiga sisa malam itu untuk mengadu
pada Sang Pencipta.
Malam
itu tidak begitu ramai seperti sekian malam yang pernah berlalu sebelumnya.
Biasanya, di asrama telah terdengar gemericik air ramai begitu sepertiga malam
datang. Tapi, seakan jarum jam hanya berdetak untuk menemani Dinda, malam itu
Dinda menikmati kesunyian suasana asrama bersama tetesan kekecewaannya. Dinda
tidak menyadari, sepasang mata mengintainya yang menunduk dengan balutan mukena
di tubuhnya.
“Kamu
nggak salah memiliki mimpi yang tinggi dan menuliskannya sebagai motivasimu.
Kamu bisa meraih semua mimpimu asalkan kamu tidak putus asa dalam proses
mendapatkannya.”
Dinda
menoleh dan segera larut dalam pelukan Mbak Nadia. Ternyata sepasang mata yang
mengintai Dinda adalah mata bulat milik Mbak Nadia. Mbak Nadia adalah salah
satu kakak kelas satu asrama yang dekat dengan Dinda. Dalam pelukan Mbak Nadia,
Dinda mencoba menenangkan diri dengan membiarkan air matanya mengalir lebih
deras. Dinda merasa telah melempar bintang terlalu jauh dan tinggi sampai tak
bisa tuk menggapainya kembali. Ia memiliki mimpi yang begitu tinggi baginya,
tapi ia kesulitan meraihnya. Tak kuasa lagi Dinda melihat lembaran-lembaran
bertuliskan angka bertinta merah menyala. Dinda telah putus asa dengan semua
hasil yang ia dapatkan dari semua usaha untuk mendapatkannya.
“Tapi
aku takut mengecewakan semua orang yang telah memberi dukungan padaku Mbak,
sekarang ini aja aku nggak bisa berpijak pada anak tangga paling bawah... Seharusnya
aku bisa melewati langkah pertama untuk mewujudkan mimpi-mimpiku..” keluh
Dinda.
“Bukannya
nggak bisa, tapi belum bisa. Kamu masih punya waktu, jangan gunakan waktu berharga
yang tak bisa diulang ini untuk menyesali langkahmu yang kurang hati-hati.
Allah tidak akan menyukai hambanya yang mudah putus asa,” jelas Mbak Nadia.
Dinda
memejamkan matanya dan meresapi aliran positif dari kalimat Mbak Nadia.
Melayang sudah angan Dinda bersama segudang harapan yang selama ini ia dapatkan
dari banyak orang yang menyayanginya. Tiba-tiba Dinda mempererat pelukannya.
Mbak
Nadia sedikit kaget, “Aku tau kamu pasti sudah mulai bangkit.”
Tenang
sudah Dinda dan perasaannya yang sempat mendung. Untuk kesekian kalinya Dinda membaca
paragraf di dekstop laptopnya yang sering ia sebut ‘Adinda masa depan’ pagi itu
sebelum beraktifitas. Tapi kali ini, Dinda membacanya dengan penuh harapan dan
sungguh-sungguh. Ia tidak ingin pohon yang telah tumbuh tinggi harus roboh
tertiup angin lagi seperti yang terjadi semalam.
Adinda
masa depaaaaann....
Walaupun
kamu sekarang tidak dikenal sebagai anak yang pintar di kelas, tapi aku yakin
suatu saat nanti kamu bisa dapet ranking 3 besar pararel IPS, sukses smnptn
undangan atau lolos bidik misi dan akhirnya dapet beasiswa kuliah di institut
kesenian indonesia jurusan seni rupa dan UGM
jurusan sastra dan kelak menjadi salah satu anggota keluarga besar trans
corp company sebagai tim kreatif dan memiliki wedding organizer.
Satu
lagi, kamu juga akan menerbitkan buku tentang ax-tentigk yang akan menjadi
inspirasi banyak orang..
Keep
smile J J J ..keep your spirit..
Don’t
be lazy...remember, nothing’s impossible..
Amiiin...pasti
bisa..
Itulah catatan sederhana yang
menjadi penyemangat setia setiap langkah Dinda. Catatan yang ia tulis dalam
sticky notes di dekstopnya itu telah terbaca puluhan pasang mata dan mengalami
perubahan dari teks aslinya.
“Kalau
berdoa yang bagus sekalian...” Sania menghapus angka 20 yang sekarang tertulis
angka 3 dalam catatan ‘Adinda masa depan’. Impian Dinda hanya meraih 20 besar
pararel, tapi Sania meyakinkan sahabatnya itu untuk memiliki target lebih baik
dari sekedar ranking 20 besar pararel, yaitu 3 besar pararel.
“Kalau
kamu benar-benar bisa masuk di UGM, aku akan belikan lap top baru untukmu,”
kakak Dinda di rumah pernah membuat penyataan seperti itu setelah tau adiknya
punya mimpi tinggi melanjutkan belajar di UGM.
Baris
terakhir berisi kalimat ‘amiiin...pasti bisa..’ juga merupakan salah satu bumbu
pendongkrak semangat Dinda yang ditulis Dias setelah membaca catatan mimpi masa
depan Dinda.
“Kamu
bisa kan menyelesaikannya malam ini? Adinda pasti bisa, iya kan? Semangat...!!!
Ingat, kamu punya mimpi di adinda masa depanmu..” Ilma meyakinkan Dinda yang
dituntut menyelesaikan sentuhan terakhir untuk proposal kegiatan jurnalis dalam
satu malam.
Proposalnya
sukses, ringan terasa pikiran Dinda hari itu sebelum akhirnya terserang petir
dan terguyur hujan deras. Belum lagi rasa sakitnya terpeleset dalam kubangan
air keruh. Dinda mendadak down lagi
mendapati nilai geografinya adalah nilai terjelek di kelas padahal ia sudah
belajar semalam suntuk.
Selalu
memuncak perasaan menjadi anak tidak berguna ketika sebuah keberhasilan yang
tertunda mengunjungi Dinda. Ganjalan keras yang sulit ditakhlukkan sedang
bersarang di hati Dinda. Kalimat-kalimat pembangun untuk tidak putus asa sudak
tidak lagi mempan menembus perisai berkarat yang mengelilingi Dinda.
“Pasti
ada yang lebih jelek kok, Din. Hari ini kamu cuma kurang beruntung,” Nisa
sebagai teman sebangku Dinda berusaha membuat perasaan sahabat karibnya itu
lebih baik.
Memang,
hati kecil Dinda menahan kuat penyesalannya, tapi justru perasaan kecewa menghantui
Dinda. Beberapa lembar kertas hasil tes yang telah dibagikan, tidak ada satu
pun yang membuat Dinda tersenyum puas, terlebih untuk hari ini. Jari-jari Dinda
hari itu pun seakan kaku tak dapat menari di atas keyboard dengan lancar,
padahal ia ingin meneruskan novel impiannya tentang ax-tentigk (nama kelasnya
ketika kelas sepuluh) sebagai pelarian kekecewaannya atas semua hasil tesnya.
“Suuuliitttt..!!!!”
Dinda menutup laptopnya pelan-pelan. Ia mencoba menenangkan perasaanya. Dalam
genggamannya kini terdapat kuas kecil bernomor tiga, berharap dengan
mengerjakan tugas melukisnya bisa membantu proses menenangkan perasaannya
menjadi lebih cepat.
“Dinda,
apa yang kamu lakukan?” Nisa yang juga tinggal di asrama kaget ketika mengetahui
Dinda yang mengerjakan tugas melukis bersama di hadapannya menuangkan semua car
airnya di atas media melukisnya.
“Aku
tu cuma bisa pengen, pengen dan pengen...cuma bisa mimpi ketinggian tapi nggak
bisa bikin mimpi itu jadi kenyataan.. Aku pengen dapet ranking pararel tapi
nilai ulangan harianku aja nggak ada yang lebih tinggi dari 75. Aku pengen
nerbitin novel, tapi untuk menyusun satu kalimat utuh saja tanganku terasa
kaku, pikiranku blank. Lalu aku pengen kuliah di seni rupa, tapi melukis
gradasi saja gagal terus...mana bisa mimpi dalam adinda masa depanku
terwujuuudd...!!!!!” Dinda membanting kuasnya dan menendang meja lipatnya
jauh-jauh.
“Semuanya
kan butuh proses, Din. Melukis seperti ini kan bisa dilatih, asal rajin
mencoba, lama kelamaan akan bagus dan rapi kok,” rayu Nisa. Tapi Dinda tidak
bisa dibendung lagi, ia meraih laptopnya. Membaca catatan ‘Adinda masa depan’
untuk terakhir kalinya lalu menghapusnya.
“Tidak
ada lagi adinda masa depan, adinda tidak bisa melihat masa depannya..” Dinda
pergi meninggalkan Nisa di ruang kosong asrama tempat mereka mengerjakan tugas
melukis mereka tadi.
Meninggalkan
semua mimpi dan membiarkan semua tugas sekolahnya berantakan dalam ruang kosong
tidak membuat Dinda tenang. Ia memaksa dirinya sendiri tidur di balik selimut
tebal dan melupakan semua masalahnya yang memenuhi pikirannya malam itu.
Mata
Dinda terbuka lagi malam itu, tidurnya tidak nyenyak. Waktu masih menunjukkan
pukul 02:20 pagi. Masih sangat banyak mata terpejam, terlihat pulas
mengistirahatkan pikiran. Dinda mendatangi ruangan kosong tempat ia
meninggalkan semuanya sebelum ia tidur kemarin. Lantunan ayat suci Al Quran
dari ruangan itu menyambut kedatangan Dinda. Tapi Dinda tidak menghiraukan
suara itu bahkan untuk menoleh dan melihat pemilik suara di pojok ruangan itu saja
tidak. Di sudut lain ruangan kosong itu, Dinda menekan tombol turn on pada laptopnya.
Ia mendapati puluhan catatan berisi semua pernyataan orang-orang terdekatnya
yang mendukung mimpi ‘Adinda masa depan’ di dekstopnya. Nisa menuliskan semua
itu dalam dekstop laptop Dinda dengan harapan Dinda bisa bangkit lagi.
“Apa
kamu tidak ingin membaca ini untuk me-refresh
pikiran dan hatimu?” Mbak Nadia berhenti membaca Al Quran dan menawarkanya pada
Dinda.
“Aku
sudah membacanya berkali-kali bahkan berdoa di setiap bangun malamku, tapi
efeknya tidak besar. Aku mengecewakan diriku sendiri dan semua orang di
sekitarku. Aku bukan anak yang baik, orang tuaku di rumah pasti kecewa dan
menyesal telah menyekolahkanku jauh disini sedangkan aku tidak melambung tinggi
dengan kesuksesanku,” jawab Dinda penuh kesal.
Plaaaaaaaaakkkkkk...!!!
“Kamu
tidak pantas berkata seperti itu!!!” Mbak Nadia melemparkan tangannya menyentuh
pipi Dinda dengan kasar.
“Apapun
yang terjadi, kamu tidak boleh menyesalinya dan kamu harus tetap dekat dengan
Allah. Ini bukan akhir dari semuanya...” lanjut Mbak Nadia.
Dinda
hanya diam dengan tangan yang terus melekat di pipinya sambil menangis
tersedu-sedu. Mbak Nadia pun memeluk Dinda penuh perhatian.
“Maafkan
aku karena tanganku menyakitimu. Tapi, kamu memang tidak seharusnya seperti
ini. Bacalah catatan-catatatn di dekstopmu, ingatlah bahwa mereka semua ada di
belakangmu, mereka percaya kamu bisa mewujudkan apa yang kamu tulis dalam
adinda masa depan... maafkanlah masa lalumu, tawakalkan masa depanmu.”
Dinda
memberontak keluar dari pelukan Mbak Nadia lalu pergi mengambil air wudlu dan
menyendiri dalam balutan mukena di pojokan ruangan kosong itu. Mbak Nadia tidak
memperhatikan lebih lama lagi, ia meninggalkan Dinda bersama kesunyian yang
mungkin memang Dinda butuhkan.
“Dindaaaa...aku
juga mau jadi bagian dari keluarga besar trans corp company bersamamu..” Winda,
salah satu sahabatnya dari kelas sepuluh yang sekarang pisah kelas berseru
menghentikan langkah Dinda pagi itu yang hendak menuju kelas. Winda merangkul
sahabat yang cukup lama tidak ia temui itu.
Dinda
diam sebentar sebelum mempererat rangkulannya.
“Iya...
nanti kita jadi tim kreatif di sana ya...!!!” ingatan Dinda melayang mengingat
Winda adalah patner menghias kelas semasa kelas sepuluh dulu.
Memulai
lagi dengan pengaturan keadaan yang dibuat lebih teratur oleh Dinda. Mencoba
menambal lubang-lubang dan menyempurnakan lingkaran niat agar tak termakan
ulat, Dinda kembali bertekad untuk mewujudkan ‘Adinda masa depan’ yang tidak
tertulis lagi dalam catatan di dekstop laptopnya.
Assalamu’alaikum
embaaakk...
Maaf
banget mbak, semalem aku sempet memberontak dan udah ninggalin Mbak Nadia gitu
aja. Tapi makassiiiii banget mbak, udah mau kasih tangan Mbak Nadia di pipiku
buat nyadarin aku dari kekhilafanku... aku janji nggak akan putus asa lagi dan
akan menyerahkan semua hasil akhirnya pada Allah,, aku juga janji gitu loo mbak
sama Allah.. doain aku yaa mbak,, J J J
-Adinda-
Wassalamu’alaikum..
Mbak
Nadia tersenyum membaca surat yang tersangkut di tas bagian depan miliknya.
Kini
Dinda mulai menabung angka delapan dalam kertas hasil ulangan hariannya,
berharap angka itu menjadi awal dari lahirnya angka satu yang bersanding dengan
nol. Semangat Dinda takkan luntur lagi karena sudah dicat sangat tebal. Catatan
‘Adinda masa depan’ memang tidak lagi tertulis dalam catatatn di dekstop laptop
Dinda, tapi Allah telah membuatnya permanent dalam hati Dinda agar tak terhapus
sebelum benar-benar terwujud.
Karya : Mujlawidzatul Husna (Sub IQRO')
0 komentar:
Post a Comment