Tanah
itu kian retak. Langit yang mendung itu menangis, menatap penderitaan yang
tiada habisnya tersungkur pada kota kecil yang terserang tsunami tadi pagi.
Seluruh jalan penuh dengan air bah yang bercampur dengan kayu dan besi bekas
reruntuhan bangunan yang tersapu ombak raksasa itu. Hampir semua bangunan hancur,
tak terkecuali gedung-gedung pencakar langit yang berjajar angkuh di setiap
ruas jalan. Hanya satu bangunan yang masih kokoh berdiri meski
dinding-dindingnya retak karena terjangan benda-benda keras yang hanyut oleh
ombak tersebut. Bangunan itu adalah masjid bercat hijau muda yang sejuk bagai
indahnya warna surga. Suara adzan maghrib menggema begitu merdu dan indah di
masjid agung tersebut. Disana sekelompok orang yang selamat dari terpaan
tsunami sedang khusyuk shalat berjama’ah sambil mengungkapkan rasa syukur
mereka dan berdo’a memohon keselamatan untuk keluarga mereka yang berada di
lokasi lain. Semuanya tegang disapu udara yang dingin. Tanpa makanan dan
pakaian yang menghangatkan, mereka tidur berjajar sambil terus berdo’a kepada
Sang Khaliq untuk memohon keselamatan bagi mereka dan korban-korban
lainnya yang belum ditemukan.
Dentang
waktu terus berjalan hingga detiknya terhenti tepat pukul dua belas malam.
Suasana masjid yang hening sedikit terdengar bising karena riuhnya suara dzikir
serangga malam. Hanya tersisa satu gadis yang duduk termenung di lantai tiga.
Tangisnya tumpah tak bersuara, bibirnya mengaduh kesakitan namun tak lepas dari
istighfar karena kaki kanannya terus mengucurkan darah. Ternyata betis kanannya
sobek karena tergores besi puing masjid yang menghalanginya untuk menyelamatkan
diri.
Karena
kebimbangan yang membuat sesak hati dan pikirannya, dia ingin pergi menuju
menara masjid untuk menghirup udara malam agar ia bisa menenangkan pikiran dan
perasaannya. Dia berusaha untuk berdiri dengan meraih tembok-tembok sebagai
sandaran keseimbangan tubuhnya. Darah masih terus mengalir dari betis kanannya hingga
kaos kaki yang menutupi kakinya itu penuh dengan darah. Untunglah, dia memakai
jubah warna merah hati yang gelap sehingga bisa menutupi bekas darah di kaki
kanannya. Dia berjalan tertatih-tatih menuju ke puncak masjid. Kerudung besar
yang menutupi pinggangnya itu mlambai-lambai tersapu angin malam yang dingin.
Matanya lekat menatap indahnya bulan dengan lelehan air mata yang membasahi
pipinya. Terdengar suara keluhan yang
samar dalam bathinnya.
Ayah,
Ibu..
Kak Hasyim
dan Kak Hisyam..
Ya Allah, merekalah
kebahagiaan yang hingga kini kunantikan..
Harapan
mengetahui keselamatan mereka masih sangat lekat..
Bersama
awan putih, mata mereka memancarkan sinar kebahagiaan..
Aku tak
ingin kehilangannya..
Ya Rabb,
hanya satu permohonanku..
Bawalah
mereka dalam naungan rahmatMu..
Dan semoga
masih ada kesempatan untukku,
Menatap
wajah bahagia mereka..
Dan
kembali memijak kebahagiaan bersama mereka
Meskipun
telah hancur jembatan untukku meraih itu..
Dia
kembali berjalan tertatih-tatih. Matanya masih sembab karena tangisnya tak jua
berhenti. Sekitar hampir pukul tiga malam, dia menuju ke tempat wudhu untuk
mengambil air wudhu. Setelah itu, tubuhnya yang kurus, dengan tenang berdiri
dan bersujud khusyuk kepada Rabb Sang Kuasa. Setelah selesai shalat, dia
kembali menenangkan bathinnya dengan thilawah
Al-Quran. Air matanya kembali tumpah membasahi pipinya. Kini, malam hanya
menjadi saksi bisu atas penderitaan yang tersembunyi dalam bathinnya.
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
“Ini!!
Disini ada korban selamat! Kami disini!!”. Teriakan para korban selamat di atap
masjid terdengar sangat keras. Ternyata Tim SAR telah datang mengirimkan
beberapa kotak yang berisi makanan, minuman, dan pakaian. Semuanya berebut,
saling berdesakan antara satu dengan yang lain. Gadis itu hanya diam bersabar
sambil mencoba untuk mengangkat kakinya yang mulai terasa sedikit mati rasa. Di
dalam kerumunan itu, dia berusaha menjauh. Namun ada seorang ibu yang meraih
lengannya.
“Nak,
ada yang memanggilmu. Bersyukurlah, dia mengambilkan jatah makanan dan pakaian
untukmu”. Sambil tersenyum, ibu paruh baya itu menunjuk seorang pemuda yang
sedikit berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya sambil membawa sebuah kotak
yang terlihat berat.
Gadis
itu membalas senyum tulus dan wibawa dari seorang ibu paruh baya yang ramah
tersebut. Saat pemuda itu mendekat, dia baru sadar bahwa dia adalah Hanif,
teman kursus bahasa arabnya yang sudah hampir empat tahun tidak pernah bertemu.
“Assalamu’alaikum
, Naya?” Hanif datang terengah-engah.
“Wa’alaikumussalam,
Hanif? Subhanallah, masih inget ternyata.” Naya tertegun melihat wajah
sahabatnya yang terlihat semakin dewasa.
“Alhamdulillah
hanya nggak ketemu hampir empat tahun aja pura-pura lupa, Na. Ini
kotak yang bermanfaat untukmu. Hehe.” Hanif menyodorkan sebuah kotak kepada
Naya sambil tertawa kecil.
“Jazakallah khair, Hanif.” Sambil
tertunduk malu, Naya menerima kotak itu.
“Baiklah,
aku kembali. Afwan mengganggu.”
“Tidak,
tidak mengganggu sama sekali. Jazakallah
khair.”
Hanif
yang jangkung itu berbalik arah untuk kembali berkumpul lagi dengan pengungsi
laki-laki yang lain. Ya, gadis itu bernama Naya. Lengkapnya adalah Naya Satiara
Al-Ashim. Dia seorang aktivis rohis
di kampusnya dan dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Naya hanya
berdiri termangu menatap langit yang mulai berhiaskan mega merah. Namun,
siapakah yang bisa mengelak kekuasaan Tuhan?
Naya
membuka kotak pemberian Hanif dan mengambil selimut tebal untuk menghangatkan
suhu tubuhnya. Adzan dzuhur berkumandang indah di masjid tersebut, Naya bangkit
untuk berwudlu. Dia merasa, kakinya mulai sulit untuk digerakkan. Tertanam
benih ketakutan dalam hatinya bila dia akan merasakan bagimana rasanya berjalan
dengan kursi roda. Tapi Naya tetap berjalan tanpa memperhatikan rasa sakit yang
membuat kepalanya pusing.
‘Bruk!!’ Naya terjatuh. Kakinya sangat sulit untuk
digerakkan. Lalu ada tangan yang tegap membantunya berdiri.
“Mbak, tayammum aja kalau ndak kuat untuk wudhu,” Naya yang sedikit pusing itu tersenyum
menatap wajah seorang perempuan berjilbab putih yang terlihat keberatan saat
menopang tubuhnya dari belakang.
“Ndak kok. Saya baik-baik saja. Maaf dan
terimakasih sudah membantu.” Lalu Naya berusaha berdiri meskipun dengan sejuta
rasa sakit yang berpusat pada kaki kanannya. Naya mulai pincang.
“Iya. Saya
bantu berjalan mbak, kelihatannya kaki anda luka parah.” Gadis berjilbab putih
itu memegang pundak Naya dan menuntunnya menuju tempat wudhu.
Naya
mengucapkan terimakasih berkali-kali kepada gadis berjilbab putih yang murah
hati itu. Mereka saling berkenalan. Ternyata nama gadis itu adalah Akta dan seusia
dengan Naya. Mereka mulai akrab sejak peristiwa tersebut, kini Naya kembali
sedikit ceria karena memiliki teman yang baik dan bisa menghiburnya dari perasaan
gundah akan keselamatan keluarganya selama ini. Akta juga mengalami hal yang
hampir sama dengan Naya. Akta pun tidak tahu bagaimana keadaan Ayah, Ibu dan
adik sematawayangnya sekarang. Mereka saling mencurahkan isi hati mereka. Dari
kejauhan, ternyata Hanif memperhatikan mereka berdua. Naya tidak tahu bahwa
alasan Hanif memperhatikannya selama ini karena Hanif menyukai kepribadian Naya
yang pendiam dan sangat menjaga kehormatan dirinya. Lewat Akta, Hanif ingin
mencurahkan perasaan yang selalu membebani pikirannya selama hampir empat tahun
itu. Sebuah tulisan sederhana yang tergores diatas kertas yang juga sederhana
itu, dia titipkan kepada Akta untuk Naya. Tetapi Akta belum bisa menyampaikan amanah
Hanif karena perasaan gundah yang masih membebani perasaan Naya.
“Aku
tidak menyangka. Kita akan bertemu dengan keadaan hati yang sama. Aku sangat
bersyukur,” Naya membuka tasnya dan mengambil selembar foto.
“Naya,
apa kau tahu?” Akta mencoba untuk menceritakan hal yang sangat penting yang diamanahkan oleh Hanif kepada Akta. Belum
selesai Akta berbicara,
“Oh
iya. Ini foto keluargaku. Ini ayah dan ibuku. Dan ini mereka, kakak kembarku. Yang
ini namanya Hasyim, dan satu lagi yaitu adiknya, Hisyam. Dan ini aku. Kuharap,
bila kita berbeda pengungsian kita dapat saling membantu untuk menemukan
keluarga kita. Bagaimana Akta?” Mata bening Naya mengisyaratkan bahwa di sedang
dirundung kesedihan yang sangat mendalam. Tak lama kemudian, air mata Naya
jatuh membasahi pipinya yang putih bersih. Akta langsung menggenggam pundak
Naya dan menguatkannya. Akta yang terlihat lebih tabah hanya diam dan menunduk
sedih atas derita yang dialami sahabatnya itu.
“Na,
semua yang telah ditakdirkan oleh Allah itu adalah yang terbaik bagi kita. Jadi
berdo’alah yang terbaik untuk mereka. Yakinlah, mereka pasti selamat di tempat
lain. Percayalah,” Dengan mata berkaca-kaca Akta berusaha untuk membuat tangis
Naya berhenti.
“Ta,
maafkan aku ya. Maaf sudah merepotkanmu. Dan terimakasih banyak kamu sudah
banyak membantuku.” Akhirnya tangis Naya pun berhenti juga. Lalu mereka
berjalan beriringan menuju lantai tiga untuk beristirahat. Akta yang lebih
tinggi dan berpostur tegap dibandingkan postur tubuh Naya yang kurus dan tidak
terlalu tinggi itu cukup kuat menopang Naya yang tertatih-tatih dalam berjalan.
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
“Ada
apa dengan kakimu, Na?” Akta terkejut saat melihat Naya memijat-mijat kaki
kanannya.
“Ah,
tidak apa-apa. Hanya sedikit nyeri.” Naya berusaha menyembunyikan luka dalam di
betis kaki kanannya.
“Yakin?
Tapi kelihatannya parah. Dan kamu terlihat pucat, Na. Ceritakan padaku.”
“Sudahlah.
Percayalah padaku, aku baik-baik saja. Ayo cepat tidur Ta, supaya kita bisa
shalat malam.”
“Baiklah.”
Bintang
- bintang malam itu tersenyum memandang sepasang sahabat yang dengan tulus
saling mengasihi, dan memahami. Terlelap dalam hening malam dan berselimutkan
dinginnya angin malam, hati nurani masing-masing bercerita hal apakah yang akan
terjadi pada mereka pada hari esok bersama waktu yang setia untuk menjawabnya.
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
Akta
terbangun di sepertiga malam. Dia ingat akan kegemaran sahabatnya yaitu shalat
tahajjud.
“Na,
ayo shalat tahajjud. Sudah jam dua lebih empat puluh lima menit lho.”
Kiranya
sudah lama Akta mencoba membangunkan Naya, tapi Naya tidak juga membuka kelopak
matanya. Mungkin Naya kecapekan.
Begitu batin Akta dalam hatinya. Lalu Akta berwudlu dan melakukan shalat malam
sendirian. Sedang Naya masih terkulai lemas tanpa gerak.
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
Adzan
shubuh mulai berkumandang. Semua orang sudah terbangun mendengar keindahan gema
alam itu. Tetapi hanya Naya yang masih saja terbaring. Lalu Akta mendekatinya.
“Masyaallah!
Naya!” Akta tidak menyangka kaos kaki di kaki kanan yang dipakai Naya sudah
basah dengan darah. Akta mendekap tubuh Naya yang dingin dengan muka yang
pucat. Akta berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua.
“Hanif!”
Hanif yang sedang duduk termenung menikmati gema adzan shubuh yang merdu itu
spontan terkejut dan mendatangi Akta.
“Ada
apa?”
“Naya.
Kenapa dia pucat sekali? badannya sangat dingin.”
“Apa?!
Ada apa dengannya? Apa dia sakit?”
“Ayo.
Ikuti aku!”
Mereka
berlari menuju lantai tiga dan mendapati Naya yang tetap berbaring dengan muka
yang pucat. Hanif yang kebetulan mengambil bidang kedokteran langsung memegang
dahi Naya.
“Sangat
dingin. Tolong kamu ambil tas warna biru di tempat aku duduk tadi ya Ta.” Hanif
terlihat tegang dan was-was dengan keadaan Naya. Lalu pandangannya tertuju pada
kaos kaki Naya yang semula cokelat muda, lalu berubah menjadi merah darah.
Hanif memegang kaki Naya dan mengangkatnya. Darah segar menetes dari betis
kanan Naya. Ternyata, luka yang sangat lebar selama inilah yang membuat Naya
sering pusing dan terlihat semakin kurus. Naya kehabisan darah!
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
Sudah
dua hari Naya hanya terbaring lemas tak sadarkan diri. Tubuhnya dingin. Kakinya
memucat. Bantuan pun tak jua datang, karena angin kencang selalu menghempas isi
kota setiap malamnya. Akta selalu berada di samping Naya sambil membaca
Al-Qur’an untuk Naya. Semua pengungsi di masjid juga ikut mendo’akan Naya. Tak
terkecuali Hanif. Lelaki itu sepanjang malam berjaga karena berharap agar Naya
mampu membuka matanya kembali.
“Hanif,
Naya mengamanahkanku untuk bisa membantunya agar bisa bertemu kembali dengan
keluarganya,” Akta menyodorkan selembar foto yang pernah ditunjukkan oleh Naya
kepadanya. Hanif hanya melihat foto itu sesaat, dia mengerutkan keningnya, lalu
mengusap-usap wajahnya dengan tangan.
“Aku
pasti akan membantumu.” Hanif berlalu dengan suaranya yang layu. Sebagai
sahabat lamanya, Akta tahu bagaimana kepribadian Hanif yang selalu menyendiri
kala hidupnya sedang dirundung masalah.
Tiba-tiba,
sebuah helikopter datang dan terdengar suara sirene peringatan.
“Semua
harap tenang, kami sudah mempersiapkan dua helikopter untuk mengangkut kalian
semua menuju tempat pengungsian yang lebih aman. Jangan berebut, karena kami telah
mempersiapkan tempat yang cukup untuk kalian. Persiapkanlah diri kalian, karena
lima belas menit lagi kita akan berangkat.”
Akta
terlihat sangat bahagia. Dia membopong sahabat barunya yang hanya diam dan terlihat
pucat itu, dibantu oleh para pengungsi perempuan yang lain. Sementara Hanif
mengikuti dari belakang sambil membawakan barang Akta dan Naya. Sampai di dalam
helikopter, Naya langsung mendapat perawatan khusus yang sudah dipersiapkan.
“Bagaimana
kondisinya, Dok?” Hanif bertanya dengan suara serak.
“Maaf.
Kenapa bisa sangat buruk seperti ini? Luka ini terkena tetanus. Dan sudah
sangat parah. Kami tidak memiliki alat yang lengkap untuk penanganan penyakit
ini. Semoga tubuh gadis ini bisa melawan infeksi tersebut dan merespon obat
penenang ini. Dan semoga waktubisa diperlambat untuk menyelamatkan kehidupan
gadis ini.” Dokter terlihat sangat menyesal. Dan kata-kata dokter tersebut
bagai hujaman pisau tajam yang menusuk perasaan Hanif. Sementara Akta hanya
menangis tak percaya dengan vonis tersebut.
-nurlathifah.nadia@ymail.com-
Akhirnya
misi Tim SAR untuk mengevakuasi korban berhasil. Mereka sampai di tempat
pengungsian yang letaknya jauh dari lokasi terjadinya tsunami. Akta duduk
terdiam di samping ranjang rumah sakit dimana Naya terbaring tenang disana.
Tubuh Naya sama sekali tidak merespon obat dan imun yang diberikan dokter.
Kini, waktu serasa tak mengizinkan Naya untuk menggapai lagi impian
kebahagiaannya bersama keluarga. Hujan gerimis yang turun, seakan menangisi
detik terakhir Naya di dunia. Wajah pucat Naya berhiaskan senyum ketabahannya.
Akta menangis sekuat-kuatnya atas kepergian sahabatnya itu untuk menuju surga
Sang Kuasa. Sementara Hanif berusaha mencari keluarganya, keluargaAkta dan
keluarga Naya yang selamat.Lalu, terdengar suara kaki yang mendekat,
“Naya!!”
Hasyim, kakak Naya yang baru saja datang, terkejut melihat Naya terbaring kaku
dan tak bergerak lagi. Akta menjauh, mempersilahkan Hasyim untuk mendekati
Naya. Tak lama kemudian, seluruh keluarga Naya, Akta dan Hanif hadir berkumpul
di rumah sakit tersebut. Akta langsung memeluk erat ibunya untuk mencurahkan
kesedihan yang menyandat kalbunya.
“Nak,
maafkan Ibu..” Ibu Naya mengecup kening Naya yang sudah dingin. Tangisnya
tumpah melihat putri bungsu sekaligus putri sematawayangnya sudah tak lagi
tersenyum ceria seperti saat dulu, dia datang menjemputnya pulang sekolah.
Kakak Naya, Hasyim dan Hisyam menangis kala mencium dan mengelus tangan Naya yang
sudah kaku itu. Sementara Ayah Naya memilih untuk menunggu di kursi luar kamar
sambil mengirimkan do’a bagi putri sematawayangnya, matanya berkaca-kaca
mengharapkan surga firdaus akan menjadi tempat terbaik bagi putrinya nanti.
Ya Allah, itu mereka..
Ayah, Ibu dan kedua kakakku..
Tolong jangan buat mereka terus menangis
Kabarkan padanya, aku bahagia disini,
Bersama dua malaikat tampanMu..
Katanya, aku akan menempuh waktu panjang menuju tempat
keabadian..
Apakan itu surgaMu Ya Allah?
Apakah aku akan
bersanding disampingmu Ya Allah?
Terimakasih, telah Kau izinkan hamba,
Bertemu mereka walau ini yang terakhir kalinya..
Hanif
pergi menuju masjid untuk mencurahkan betapa pedih perasaannya saat ini,
tangannya menggenggam erat surat yang ingin diberikannya kepada Naya, tetapi
waktu tak mengizinkan surat itu hadir di tangan Naya. Air matanya tumpah saat
dia mengucapkan beberapa patah do’a untuk Naya kala harapan yang ingin dia
petik terbang tanpa arah, berharap sampai untuk mengetuk pintu surga dimana
Naya berada disana.
--TAMAT--
Karya : Nadiah Nur Lathifah (Sub KPM)
0 komentar:
Post a Comment