Tuesday, January 14, 2014

PESAN TERAKHIR IFAH
Aku duduk di taman sekolah seperti kebiasaanku setiap jam istirahat. Sesekali ku sempatkan melirik ke arah barat. Hmm, ku lihat ada gadis cantik yang sedang tersenyum dan menuju ke arahku.
“Heii...” sapanya. Aku hanya tersenyum melihatnya. Dia lalu duduk di dekatku. Aku dan Hana memang sudah 3 tahun bersama. Kita sering menghabiskan waktu bersama-sama. Dia sering sekali main ke rumahku. Aku pun juga demikian.
“Eh Na, nanti malam aku ada acara, kamu mau ikut nggak?”
“Emmm ya, boleh juga. Emang ada acara apaan?” tanya Hana.
“Nanti malam, aku mau ikut kajian Islam di masjid. Seru lho acaranya!”
Hana memang merasa terkejut dengan ajakanku. Tapi aku mencoba merayunya. Aku tahu bagaimana sosoknya. Dia hanya belum siap untuk merubah tabiatnya yang seperti anak cowok.
          Tepat pukul 19.00
Kugendong tas coklatku, dan kupakai jam tangan hitam, warna kesukaanku. Tak lupa, kupintakan izin untuk berangkat kepada orang tuaku. Lalu kuambil kunci motor yang hendak kunaiki, lengkap dengan helm merah yang melekat di atas jilbab putihku, siap menjagaku selama perjalanan menuju rumah Hana nanti.
“Brum,brum,,,”
Kurang dari sepuluh menit, aku sudah sampai di rumah Hana. Rumahku memang tak terlalu jauh dari rumahnya.
 “Assalamualaikum...” sapaku kepada ibu Hana yang sedang berada di teras rumah.
“Waalaikumussalam Warahmatullah, eh Nak Ifah, mau cari Hana ya? Ada tuh di dalam. Silahkan masuk Nak!”
Aku pun masuk dan duduk di sofa ruang tamunya.
“Ayo kita berangkat!” sambut Hana
“Subhanallah, kamu terlihat begitu cantik dengan pakain itu.”
Aku tahu Hana memang agak risih dengan pakaian muslimah yang dikenakannya. Tapi dia mencoba untuk tetap memperlihatkan kenyamanannya di hadapanku.
Di majelis, aku dapat banyak sekali hal yang belum aku tahu tentang Islam. Sedikit demi sedikit, aku mulai mencoba merubah tabiat buruk ku. Maka dari itu, aku juga ingin sekali Hana bisa berubah, karena aku ingin kelak kita akan masuk surga bersama.
          Pikiranku mulai terlamun jauh. Tiba-tiba aku merasakan pusing yang sangat hebat menyerang kepalaku. Hidung ku pun terasa sesak sekali untuk bernapas. Sakit, sakit benar-benar sakit yang ku rasakan. Remang-remang, suara ustad yang sedang mengisi acara tersebut perlahan mulai lirih sekali. Sempat aku merasakan dan mendengar jeritan Hana. “Ifah, Ifah...” suara itu begitu indah. Tapi aku mulai tak mendengarnya.
***
          Tubuhku lemas, sakit, sakit itu masih tersisa dan membuatku sangat malas untuk menyempatkan mataku melihat sekelilingku.
 “Ah Hana, dimana dia?” suaraku pun masih terbata-bata mengucapkan kalimat itu. Tapi ingatanku mulai terisi kembali dengan masa-masa indah saat aku dan Hana bersama, bercanda ria. Kucoba mulai membaringkan tubuhku hingga akhirnya aku berhasil dalam posisi duduk. “Di mana aku?” aku heran, rasanya tadi aku masih bersama Hana. Tapi kenapa kini aku di tempat ini. Ya, aku berada di sebuah rumah sakit yang tak jauh dari rumahku. Tanganku yang sedang disalurkan dengan sebuah penghubung inpus yang membuatku bingung bagaimana aku mendeskripsikannya. Tapi yang jelas, hal itu merupakan bukti yang kuat tentang apa yang kualami sekarang. Perlahan kucoba menengok arah sebelah kananku. Hana, dia sedang tertidur lelap karena kelelahan menemaniku. Ya, sekitar 6 jam sudah aku di sini tanpa sadar. Sementara orang tuaku mungkin sedang mencarikan makanan untukku.
“Ifah, kamu sudah siuman?” tanya Hana menatapku sambil memegang erat tanganku dengan jemari-jemari lembutnya. Aku hanya tersenyum melihatnya. Dia memang sosok yang sangat perhatian denganku. “Na, kamu mau nggak melakukan sesuatu untukku?”
“Apa itu? Pasti aku akan melakukannya untukmu.”
“Kamu yakin dengan ucapanmu?”
“Tentu Ifah,”
“Pintaku memang tidak banyak, maukah kau mengenakan jilbab ungu ini setiap hari? Tetapi bukan hanya sekedar mengenakannya karena ingin terlihat cantik atau hanya ada event-event tertentu?”
Hana tertunduk, dia mungkin bingung entah karena apa. Aku pun juga tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan.
“Aku tidak memaksamu Hana, semua pilihan ada di tanganmu.” Kemudian kupegang tangan kanannya. “Lihatlah Hana, tanganmu begitu indah. Tapi di balik tanganmu yang indah ini Allah memberikan amanah untukmu.” Aku menarik tulang-tulang pipiku sehinnga aku pun menjadi kelihatan tersenyum.
***
Hari ini aku mulai membaik, dokter mengijinkan aku untuk pulang. Aku pun bisa berangkat ke sekolah. Seperti biasa aku menunggu Hana di taman sekolah. Tiba-tiba datang seorang yang mulai mendekatiku perlahan. Tapi aku tetap fokus membaca novel islami dan menundukan kepalaku.
“Ifah...” suara itu sangat aku kenal. Aku mulai memandang seorang tersebut. “Hana...” seruku. Aku tidak percaya, aku melihat perubahan Hana yang drastis 180 derajat. Dia terlihat lebih cantik mengenakan jilbab ungu, warna kesukaannya yang kuberikan kemarin. Subhanallah, begitu syar’i. Tutur katanya pun menjadi sangat halus serta lembut dan baik. Aku pun mengidolakan ia kini. Begitu luar biasa memang. Allah, terimakasih atas segala hidayah-Mu terhadap hamba-Mu.
***
          Hari ini aku lelah sekali. Tapi aku senang. Begitu banyak hal yang membuatku bahagia dan merasa damai.
“Aku nggak sabar dengan hari esok. Aku bisa ketemu Hana lagi. Emmb, aku mau iseng bikin surat deh buat dia.”

Dear My Bestfriend,
          Hana, makasih buat semua ini yang telah kau berikan untukku. Kamu adalah orang yang perhatian denganku. Makasih selama ini kamu udah setia nemenin aku. Kita sering melewati bersama berdua. Aku senang kamu sudah mau berhijab dengan syar’i. Makasih yaa!!
                                                                                      Love,
                                                                                      Nafah Humairoh

Kring, kring... suara handphone Hana berdering tepat jam 03.00 pagi.
“Halo, Assalamualaikum, ada apa Ifah?”
“Maaf Nak Hana, bisa Nak Hana pergi ke sini sekarang?
Ttuuut, ttuttt...
Telepon itu langsung segera tertutup. Hana bingung kenapa ibu Ifah telpon sambil nangis-nangis begitu. Apa yang sebenarnya terjadi? Pasti ada yang tidak beres. “Aku harus ke sana sekarang.”
Tepat di rumah Ifah, ada banyak orang disana. Juga bendera kuning yang tertancap di halaman rumahnya, yang membuat Hana jadi kebingungan.
“Ifah...” Hana pun teringat pada sosok sahabatnya yang sudah membuatnya berubah 180 derajat.“Ifah, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Sabar ya Nak Hana,” lirih ibu Ifah dalam larutan kesedihannya sambil menyodorkan sepucuk surat yang entah isinya apa.
Air mata Hana pun belinang perlahan. Butir demi butir cerita yang pernah mereka ukir menambah kesedihan dalam wajah Hana. Lalu dibukanya surat yang diberikan oleh Ibu Ifah tadi.
Betapa terkejutnya Hana melihat isi surat tersebut. Memang begitu cepat sekali sahabatnya pergi.
“Seharusnya aku yang berterima kasih padamu Ifah. Kau telah membuatku menjadi lebih baik dan mengajarkan aku banyak hal. Semoga kau tentram di alam sana Ifah, sahabatku. Doaku selalu menyertaimu Ifah.”

Karya : Istik Nafiatur Rosyidatuz Zulfa
Editor : Indah Nur H.