Saturday, October 25, 2014

Cerpen - Tetes Tinta Haru


http://kabarntb.com/wp-content/uploads/2013/12/kuli-tinta-200x120.jpg
Sinar mentari pagi menembus kaca jendela, ayam berkokok beriringan, jalanan pagi nan sunyi mulai nampak ramai, orang-orang mulai keluar dari hunian mereka masing-masing, melakukan berbagai rutinitas atau sekedar akivitas semata. Para ayah yang akan berangkat bekerja, ibu-ibu sibuk pergi belanja atau hanya sekedar berbasa-basi dengan penjual sayur keliling, anak-anak sekolah yang sibuk dengan entah berbagai macam rutinitas unik, beberapa orang yang memilih aktivitas jogging di pagi hari, mengelilingi kompleks, dan aktivitas lain.
Begitupun juga oleh seorang pemuda yang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Alarmnya berbunyi dengan lantang lantas membangunkannya. Dengan segera ia bangkit dari tempat tidurnya dengan mata sayu, kemudian melirik jam yang menunjukkan pukul 04.30 pagi. Memang ia harus bangun sepagi itu setiap hari. Setelah bangkit dari tempat tidur, pemuda itu keluar rumah untuk menghirup udara pagi segar, melakukan olahraga kecil sejenak untuk sekedar menyegarkan badan, menghilangkan rasa kantuk. Beberapa tetangga yang melewati depan rumahnya, saling tegur sapa dan melontarkan senyum. Lingkungan kompleksnya masih asri, tata letaknya yang rapi, dan orang-orang disekitarnya yang ramah membuat pemuda itu merasakan kenyamanan.
Setelah olahraga kecilnya dirasa cukup, ia mandi sekaligus mengambil air wudhu. Kemudian memakai pakaian yang rapi, sopan dan wangi, lalu ditunaikanlah ibadah wajib sholat shubuh. Seusai sholat, tidak lupa berdo’a, memohon perlindungan serta petunjuk kepada Allah SWT. Kegiatan rutinnya setiap pagi adalah mempersiapkan sarapan sendiri. Ia memang hanya tinggal seorang diri. Tempat tinggalnya yang jauh dari tempat ia bekerja mengharuskannya membeli rumah sederhana di kompleks Bunga Indah Permai. Menu sarapan hari ini sederhana saja. Mi rebus, telur dadar, saos sambal dan nasi hangat, cukup untuk mengisi perut.
Jam menunjukan pukul 06.00 pagi, ia pun berangkat mengendarai motor bebeknya ke kantor. Ia bekerja di sebuah redaksi majalah. Pada awal bekerja, ia mendapatkan tugas dari atasannya untuk mewawancarai seorang petinggi di sebuah perusahaan ternama yang sulit sekali diajak bertemu bahkan diwawancarai.
Pagi, Gus!” sapa atasannya.
Pemuda itu−Bagus−menolehkan kepalanya. “Iya bos, ada yang bisa saya bantu?” jawabnya cepat.
Bisa bicara sebentar?”
Tentu,” sahut Bagus.
Begini, saya memberi kamu tugas sekaligus minta tolong, tapi akan sedikit sulit.”
Apa yang bapak inginkan, tidak perlu sungkan, saya akan mengusahakannya,” jawabnya yakin.
Saya minta tolong agar kamu mewawancarai seorang petinggi suatu perusahaan ternama. Beliau benar-benar seorang yang hebat, tapi sayang, tidak banyak orang yang tahu tentang dirinya. Beliau tidak ingin mencari perhatian ataupun menjadi terkenal seperti orang-orang tinggi lainnya. Itulah sebabnya beliau sangat sulit untuk diwawancarai” ucap sang Bos panjang lebar.
Baiklah Pak, jika memang begitu, saya akan melakukannya”
Dengan senang hati, atasan Bagus itu memberikan data tentang orang yang dimaksud dan ongkos untuk perjalanannya.
Bagus pun bersiap-siap. Hal pertama yang ia lakukan adalah menghubungi orang tersebut. Tetapi nihil. Nomor yang dihubunginya adalah nomor Manager perusahaan itu alias bawahannya. Dengan hati-hati ia menjelaskan maksud dan tujuannya. Manager itu dengan cepat langsung menolak tawaran itu karena atasannya menolak tawaran wawancara dari siapapun kecuali beliau sendiri yang menginginkannya.
Dengan perasaan kecewa, Bagus menceritakan perihal penolakan wawancara itu kepada atasanya. Atasan Bagus tersenyum bijak. Memaklumi dan memberi tugas baru padanya. Ia diminta untuk meliput sebuah hotel besar yang baru buka, letaknya di luar pulau.
***
Pada hari itu, Bagus berangkat ke tempat tugasnya dengan pesawat terbang. Setelah beberapa jam di udara, pesawat mendarat di bandara dengan selamat. Bagus keluar dari bandara sambil menggendong tas ranselnya. Matanya sesekali melihat alamat hotel yang dikirim atasannya lima menit yang lalu.
Pemuda itu tiba di sebuah hotel berbintang. Hotel itu terbilang cukup mewah karena memiliki beberapa gedung yang megah. Pemandangannya bersih, tata letak pada tamannya tertata indah nan rapi mempesona. Tiba-tiba, dari sebuah ruangan terjadi perampokan oleh gerombolan orang. Pencuri itu memakai topeng dan seluruh pakaiannya berwarna hitam. Sebelum pergi, mereka membakar serta mengobrak-ngabrik seluruh isi dalam ruangan tempat kejadian. Tampak pengunjung, jurnalis, serta orang-orang penting lainnya berhamburan keluar menyelamatkan diri dari bala kekacauan tersebut. Tetapi, ada satu orang yang terjebak dalam kobaran api, ia bingung harus bagaimana agar bisa keluar dari ruangan yang hampir dipenuhi si jago merah itu. Keadaan Hotel dan ruangan itu kacau, bahkan lampu semua ruangan mati, api menyambar dengan cepat dari satu ruangan ke ruangan lain. Setelah mengetahui masih ada satu orang didalam, Bagus pun dengan cepat masuk dalam kekacauan untuk menyelamatkan orang itu.
Dengan sigap dan cepat, orang itu berhasil diselamatkan. Bagus menggiring orang itu di taman dekat hotel. Kebetulan yang sangat menggembirakan, orang itu ternyata adalah petinggi suatu perusahaan terkenal yang tengah dicari-cari Bagus untuk diwawancarai.
Anda tidak apa-apa?” kata Bagus
“Ya. Hanya sedikit shock.”
“Apa anda petinggi perusahaan terkenal di Jakarta itu?” Tanya Bagus ragu. Ia tahu, situasinya tidak pas untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting.
Orang itu mengangguk.
Bagus mengulurkan tangannya. “Perkenalkan nama saya Bagus. Saya bekerja di salah satu redaksi majalah Business di Jakarta.”
“Oh, nama saya Indrawan Hardiningrat. Panggil saja Indra. Terima kasih karena sudah menyelamatkan saya,” ujarnya seraya tersenyum.
“Apakah anda yang menelpon saya beberapa waktu yang lalu?” tanya petinggi perusahaan itu−Indra.
Sebenarnya, saya ingin menelpon anda, tapi yang mengangkat adalah manager anda. Beliau mengatakan bahwa anda menolak semua wawancara, kecuali anda sendiri yang menginginkannya.jelas Bagus.
Oh, kalau masalah itu, saya minta maaf. Itu bukan Manager saya, melainkan saya sendiri, saya mengaku sebagai Manager karena tak ingin ada yang mewancarai saya, tapi setelah anda menyelamatkan saya dari kekacauan tadi, saya pikir, tidak ada salahnya melakukan tanya jawab dengan anda.
Baguspun merasa sangat bahagia. Hatinya seakan menangis karena haru. Memang Allah telah merencanakan hal terbaik untuknya.
Setelah wawancara selesai, Bagus dimintai waktu untuk wawancara dengan salah satu redaksi majalah bisnis di Jakarta. Serta acara berita yang lain karena aksi heroiknya menyelamatkan pemilik perusahaan terbesar yang paling tersohor di Jakarta, dan juga ia telah berhasil membuat berita mengenai petinggi perusahaan tersebut, memecahkan rekor bahwa tidak seorang pun mampu mewawancarai, bahkan jika itu hanya untuk urusan yang kecil.
                                                                           ***        
Setelah kejadian itu, atasannya bangga. Walaupun mereka sadar bahwa menjadi jurnalis itu tidak mungkin dapat terkenal, dan nama-nama mereka hanya menjadi pajangan di akhir sebuah artikel. Namun, dengan kerja keras, nama seseorang bahkan kelompok jurnalis bukan hanya sebuah nama akhir atau pajangan biasa dari sebuah tulisan.

Karya : Achmad Zidan Choirul Atok
Editor : Anissa Maya

2 comments: